TINTAINFORMASI.COM, BANDAR LAMPUNG – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bupati dan Wali Kota baru akan dilaksanakan pada November 2024 mendatang.
Bahkan, tahapan Pilkada baru akan dijalankan setelah selesai tahapan Pemilihan Umum (Pemilu), yang akan digelar pada tahun yang sama.
Meskipun begitu, sejumlah nama tokoh bakal calon wali kota sudah bermunculan.
Selain Wali Kota Bandarlampung Eva Dwiana, sejumlah nama yang santer akan maju dalam kontestasi menjadi orang nomor 1 di Bandarlampung itu adalah Rahmat Mirzani Djausal.
Ya, nama ketua DPD Partai Gerindra Lampung dan anggota DPRD Provinsi Lampung itu santer terdengar akan maju sebagai calon wali kota.
Begitu juga dengan nama Ketua DPC PDIP Bandarlampung Wiyadi. Ketua DPRD Bandarlampung ini juga disebut akan naik setelah dua periode menjabat ketua DPRD.
Ada juga Ketua DPD II Golkar Bandarlampung yang juga anggota DPRD Fraksi Golkar, Yuhadi.
Menimbang keempat nama tersebut, Akademisi Universitas Lampung (Unila) dan juga pengamat politik Lampung Budi Kurniawan menilai posisi Eva Dwiana sangat menguntungkan.
Posisinya sebagai incumbent tentu menjadi modal dan jalan yang lebih baik dari kandidat yang lain.
“Apalagi kita lihat, saingan yang saat ini ada belum bisa memberikan efek kejut yang luar biasa. Meskipun nama-nama tersebut sudah lama ada, seperti Wiyadi dan Rahmat Mirzani Djausal,” katanya.
Menurutnya, jadi incumbent lebih diunggulkan, kecuali ada gempa politik yang berkembang. Misalnya Eva Dwiana ditangkap KPK, bisa jadi incumbent kalah.
Bila diukur dari kinerja pun, meski terjadi ketidakberesan seperti gaji honorer dan lain-lain, tapi hal ini tidak mampu dikapitalisasi oleh lawan.
Bahkan yang mengetahui informasi itu tidak banyak, hanya pada yang terdampak dan elit. Sementara di kalangan bawah mungkin tidak perduli.
“Kalau saya konsultan lawan Eva, itu akan saya kapitalisasi di media sosial, dan akan mengangkat kekurangan incumbent. Selama ini mereka tidak melakukan itu,” paparnya.
Sementara sosok Rahmat Mirzani Djausal dengan jabatannya sebagai ketua gerindra Lampung tentu punya peluang yang kuat. Ini apabila dia benar-benar memanfaatkan jabatannya saat ini.
“Saya mengamati politik lokal di Lampung dan baru mengetahui sedikit informasi tentangnya, apalagi orang-orang di bawah?” ujar dosen FISIP Unila yang saat ini masih mengenyam pendidikan S3 di Amerika.
Kemudian Wiyadi, merupakan sosok politisi yang tergantung dengan partai. Artinya dia tidak memiliki personal branding yang kuat.
Sedangkan yang menjadi masalah, PDIP di Bandarlampung tidak begitu kuat. Hal ini dapat dilihat pada Pemilu 2019 yang menang di Bandarlampung adalah Prabowo.
“Beda dengan Eva Dwiana yang memang ketokohannya dibangun saat zaman Herman HN. Ketokohannya bisa menandingi partainya,” katanya.
Logikanya lanjut Budi, Eva Dwiana bila tidak diusung PDIP, partai lain pasti melamarnya. Mengingat Eva Dwiana incumbent dan memiliki basis.
“Ketokohan itu faktor dan variabel yang paling penting, bukan partai. Nama-nama yang ada selain Eva itu bergantung dengan partai,” ungkapnya.
Hal ini diamini oleh akademisi Ilmu Pemerintahan FISIP Unila, Himawan Indrajat.
Menurutnya selain Eva Dwiana, beberapa nama memang saat ini sudah mulai memanaskan mesin politiknya agar lebih siap ketika tahapan Pemilu dimulai di tahun 2024.
Tetapi yang paling diuntungkan tentu dari beberapa calon kandidat adalah posisi Eva Dwiana.
Hal ini juga terlihat dari gerakan politiknya ketika menjadi anggota dewan.
Menurutnya, itu adalah modal sosial yang besar. Ditambah kini ia pejabat publik yang menguasai seluk beluk Kota Bandarlampung.
“Meski yang perlu dikritisi, ya hasil dari kepemimpinannya apakah sudah sesuai dengan harapan rakyat,” ungkapnya.
Kalau dianalisis dengan teori “power cube” Eva punya kekuatan yang terlihat dan tak terlihat.
“Terlihat adalah jabatan petahananya. Sementara tak terlihat modal sosial yang sudah dia miliki semenjak mau menjadi anggota dewan,” tandasnya.(*)