Lampung

Tantangan Kampus Dalam Pendidikan Anti Kekerasan Seksual

70
×

Tantangan Kampus Dalam Pendidikan Anti Kekerasan Seksual

Sebarkan artikel ini
TINTAINFORMASI.COM, BANDAR LAMPUNG — Pendidikan adalah suatu hal yang berbudi luhur dan tidak ternodai oleh apapun. Kenyamanan meraih prestasi akademik di lingkungan pendidikan harus diperhatikan lebih dalam. Setiap tempat di dalam masyarakat ataupun komunitas termasuk perguruan tinggi (kampus), rasa nyaman dan aman adalah hak bagi kita semua dalam berproses. Tingkat keilmuan seseorang akan menjadi cacat apabila tidak diiringi oleh etika dan moral. Apalagi tingkat perguruan tinggi diharapkan mampu menjadikan setiap individu bertumbuh paripurna dalam berperilaku. Peran setiap penuntut ilmu dan yang dituntut bukan hanya menyerap ilmu dan mentrsansfer ilmu nya saja, juga berkewajiban memahami nilai-nilai etik dalam setiap pembelajarannya. Itu semua tidak hanya bentuk ritual ucapan semata, melainkan hars mampu mengkonkritiasi dan refleksi terhadap pemahaman nilai-nilai HAM dan kesetaraan gender dalam bidang-bidang tertentu. Bahwa dalam aturan sudah sangat jelas setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan seksual sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945. Belakangan ini kita melihat kekerasan seksual marak terjadi di ranah komunitas termasuk perguruan tinggi baik secara langsung maupun tidak langsung yang berdampak pada kurangnya optimal penyelengaraan Tridharma Perguruan Tinggi dan menurunkan kualitas pendidikan tinggi, maka dari itu diperlukan pencegahan dan penanganan dalam hal kekerasan seksual di perguruan tinggi, perlu peraturan yang menjamin kepastian hukum dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di dalam perguruan tinggi. Dalam melaksanakan aktivitasnya, seorang dosen harus ditempa dengan kebajikan moral dan kepekaan terhadap kelemahan mahasiswa serta tidak boleh berubah sebagai ajang kekerasan seksual. Kekerasan seksual pada hakikatnya menunjuk pada kekerasan deservatif atau hubungan seksual yang menyimpang, merugikan korban dan merusak kenyamanan ditengah proses menuntut ilmu. Perbuatan menyimpang tersebut sudah sangat jelas melanggar HAM dan termasuk pengabaian terhadap ajaran agama. Faktanya Perguruan Tinggi menjadi tempat yang ramah akan kekerasan seksual, walaupun fenomena tersebut tidak dapat digeneralisir secara keseluruhan akan tetapi sudah banyak fenomena ini terjadi dalam lingkup perguruan tinggi. Berdasarkan survei kemendikbudristek tahun 2020 menyatakan 77 persen perguruan tinggi terjadi kekerasan seksual dan 63 persen dari kasus tersebut tidak dilaporkan. Lahirnya Permendikbudristek 30/2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (PPKS) dilingkungan perguruan tinggi, sebagai sinyal bahwa perguruan tinggi berada pada titik darurat kekrasan seksual. Sesuai dengan Dasar Negara kita Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa maka Indonesia sangat menjunjung tinggi moralitas sejalan dengan aturan setiap agama yang tidak memperbolehkan merebut ataupun merampas hak-hak setiap manusia. Apalagi Perguruan Tinggi berada dalam urutan pertama dalam kasus terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan antara tahun 2015-2021, dikutip LM Psikologi UGM (12/04). Bahkan Yogyakarta yang disebut sebagai kota pelajar di Indonesia memiliki track-record yang sangat mengkhawatirkan dalam kasus kekerasan seksual. Angka kekerasan seksual yang diterima LBH Yogyakarta dari maret tahun 2020 sampai april 2021 sebanyak 42 kasus dan LSM Rifka Annisa WCC, sejak januari hingga april tahun 2021, juga menerima aduan kekerasan seksual sebanyak 350 kasus yag terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta . Data tersebut tidak serta merta mewakili keseluruhan kasus kekerasan seksual yang ada, karena berdasarkan survei yang dilakukan oleh Kemendikbud Ristek pada tahun 2020 di 29 kota pada 79 perguruan tinggi, terdapat 63% kasus kekerasan seksual yang terjadi tidak dilaporkan semata-mata untuk menjaga nama baik kampus . Bagaimana masyarakat dan pemerintah dalam menyikapi kasus ini menjadi pertanyaan yang perlu diperhatikan oleh kita semua, dikutip LM Psikologi UGM (23/05). Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual : Menurut hemat saya , kekerasan seksual dapat terjadi dikarenakan adanya variable penting, seperti : kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan. Jika ketiga variable tersebut disatukan, maka akan terjadinya suatu intensi terjadinya kekerasan seksual, dan apabila salah satu dari ketiga nya tidak ada, maka kekerasan seksual tidak akan terjadi. Oleh karena itu, ada beberapa penyebab terjadinya kekerasan seksual yang terjadi dilingkungan kampus, yakni sebagai berikut : 1. Budaya patriarki yang menguat di Indonesia : Seperti yang kita ketahui bahwa di Indonesia masih terlalu kental yang nama nya patriarki, bahkan patriarki sendiri sudah menjadi suatu kebudayaan yang sangat kental, yang mana bahwa pria selalu superior dihadapan wanita, wanita hanya sebatas objek dari seksualitas, tidak adanya kesetaran antara wanita dan pria dalam hal apapun sehingga wanita dikaitkan sebagai sosok lemah. Pemahaman-pemahaman patriarki inilah yang dapat menimbulkan terjadinya kekerasan seksual. 2. Adanya relasi kuasa yang tidak setara antara pelaku dengan korban Relasi kuasa yang tidak setara menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari korban, sehingga pelaku berani melakukan tindakan asusila kepada korban yang lebih lemah dengan banyaknya kasus yang terjadi ketidaksetaran pelaku dan korban dalam hal relasi kuasa, baik dalam status sosial maupun dalam lingkup keluarga. Hal seperti inilah yang membuat korban tidak berani untuk melaporkan kejadian tidak senonoh tersebut. 3. Budaya victim-blamming yang banyak terjadi sebelumnya Bahwasannya isu mengenai kekerasan seksual di Indonesia masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan, hal ini membuat korban kekerasan seksual yang berani untuk melaporkan kejadian tersebut,justru masyarakat yang menyalahkan si korban (victim-blamming). Anggapan tersebut juga didukung oleh hasil survei yang dilakukan statista pada tahun 2020 tentang factor penyebab terjadinya kekerasan seksual di Indonesia, yaitu perilaku genit yang dilakukan oleh korban dan persepsi menggunakan pakaian terbuka yang mendorong terjadinya kekerasan seksual. Melalui data tersebut, dapat diketahui bahwa masih kentalnya budaya victim-blaming yang terjadi di Indonesia. Hal-hal seperti inilah yang membuat korban justru merasa semakin tertekan apabila melaporkan kejadian tersebut. Kekerasan seksual bukanlah masalah yang hanya dipahami dari penanganan dan pencegahannya saja, tetapi perlu juga untuk kita mengerti tantangan yang ada dalam penanganannya. Berikut ini beberapa kurangnya penanganan dan pencegahan kekerasan seksual dikampus: 1. Mahasiswa masih kurang memahami konsep kekerasan seksual Sebagian besar mahasiswa masih berada dalam tahap awal dalam kesadaran dan pemikiran kritis akan isu kekerasan seksual. Salah satu bentuk kekerasan seksual, seperti penggunaan istilah seksis yang membuat tidak nyaman dan memberikan komentar terhadap orang dengan istilah seksual yang merendahkan, masih cenderung mudah diabaikan atau kurang dipahami oleh mahasiswa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LM Psikolog UGM Kabinet Kartala Anata pada tahun 2019, terdapat bentuk lima perilaku yang mengarah pada kekerasan seksual akan tetapi masih kurang dipahami oleh mahasiswa itu sendiri, yakni bergurau dengan menggunakan istilah-istilah seksis yang membuat tidak nyaman, memaksa seseorang menonton video pornogafi, memberi komentar terhadap seseorang dengan istilah seksual yang merendahkan, melakukan manstrubasi dihadapan orang lain, dan tatapan yang tidak diinginkan kearah wilayah kelamin. Hal ini mengakibatkan rendahnya potensi mahasiswa untuk melakukan critical reflection, political efficacy,dan critical action untuk menghadapi isi kekerasan seksual. Kasus yang lumrah terjadi adalah korban yang tidak menyadari atau bingung dengan kondisi yang dialaminya tergolong dalam kasus kekerasan seksual atau bukan . 2. Minimnya laporan atas tindak kekerasan seksual Fenomena ini akrab dengan sebutan fenomena gunung es (iceberg phenomenon), yakni kasus yang ada dipermukaan belum tentu mencerminkan jumlah kasus sebenarnya yang terjadi karena dapat dipastikan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan atau diadvokasi oleh pihak kampus. Dengan demikian, data yang ada cenderung terbatas pada data yang memang dilaporkan oleh korban pada pihak-pihak tertentu yang menangani kasus kekerasan seksual . 3. Pihak kampus yang menutupi kasus kekerasan seksual Beberapa kasus atau kejadian kekerasan seksual dikampus cenderung ditutup-tutupi oleh pihak kampus. Alasan utamanya adalah untuk mempertahankan reputasi kampus. Di Indonesia sendiri, tendensi suatu institusi untuk melakukan hal tersebut cenderung dipengaruhi oleh aspek budaya dan agama . Alhasil, institusi tersebut pun cenderung menunjukkan support yang terbatas dan korban pun cenderung termotivasi untuk diam agar dapat melindungi dirinya dan institusinya. Hal ini memunculkan kemungkinan terbentuknya kepercayaan atau pola pikir warga kampus bahwa kekerasan seksual tidak mungkin terjadi dilingkungan kampus karena merasa bahwa lingkungan tersebut sudah dinilai aman. Akan tetapi, lingkungan kampus yang justru menjadi tempat rawan terjadinya kekerasan seksual . Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja, baik pria maupun wanita, baik anak-anak maupun orang dewasa. Beberapa kondisi yang membuat seseorang melakukan tindakan ini adalah seperti yang disebutkan di atas tadi yakni relasi kuasa yang tidak setara, jika dirinci satu persatu, relasi kuasa yang dimaksdu mencakup ekonomi, sosial dan budaya. Kekerasan seksual didefinisakan sebagai tindakan seksual apapun yang dilakukan oleh satu (atau lebih) orang atas orang lain tanpa persetujuan. Pada beberapa kasus, korban tidak dapat memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan seks karena tidak sadar atau tidak mampu. Tindakan seksual ini merujuk pada penetrasi dilubang tubuh (mulut, vagina atau anus) tanpa persetujuan. Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain yang berakibat pada penderitaan atau kesengsaraan terhadap fisik, psikis, seksual, kerugiaan secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik. #mahasiswafakultasilmuhukumuviversitasbandarlampung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content protected !!