BERITAKota MetroLampung

Saatnya Pelayanan Kesehatan Berbasis Gender

146

Kota Metro, Tintainformasi.com —Maraknya pemberitaan mengenai kasus pelecehan seksual oleh oknum tenaga medis membuat saya terusik. Bukan hanya karena pelanggaran etik yang mencoreng profesi mulia itu, melainkan karena keresahan lama yang selama ini saya pendam kembali menyeruak ke permukaan. Ini saatnya kita membicarakan sesuatu yang selama ini mungkin dianggap tabu, atau terlalu kolot, pelayanan kesehatan berbasis gender!

Rentetan kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dokter sepanjang April 2025 semakin mempertegas urgensi pembahasan ini. Klinik dan rumah sakit, ruang yang seharusnya menjadi tempat aman dan penuh harapan untuk pulih, justru berubah menjadi ruang traumatik, terutama bagi perempuan. 

Dalam bulan yang sama, tiga kasus mencuat ke publik. Mulai dari dokter residen di RSHS Bandung yang memperkosa keluarga pasien saat tak sadarkan diri, dokter kandungan di Garut yang videonya viral saat melecehkan pasien, hingga dokter di RS Persada Malang yang terus-menerus mengganggu pasien secara seksual lewat pesan pribadi dan tindakan langsung. Semua terjadi saat korban sedang rentan dan bergantung pada pertolongan medis. Rabu (14/05/2025)

Kasus ini bukan sekadar penyimpangan individu. Ini tanda bahwa sistem pelayanan kesehatan kita belum cukup berpihak pada rasa aman pasien. Di sinilah urgensi pembahasan tentang pelayanan kesehatan berbasis gender menjadi mutlak. Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik jargon “profesi mulia” tanpa membenahi mekanisme perlindungan terhadap pasien.

Saya bukan sedang menggeneralisasi, apalagi memvonis seluruh dokter berpotensi melakukan pelecehan. Tentu tidak. Kita tahu, masih banyak dokter yang menjalankan sumpah profesinya dengan integritas tinggi. Namun, sebagaimana dalam profesi lainnya, selalu ada celah bagi oknum menyusup dan mencemarkan nama baik seluruh korps.

Sebagai suami, ayah, dan adik dari perempuan, saya punya kekhawatiran mendasar ketika anggota keluarga perempuan saya harus menjalani tindakan medis yang bersifat sensitif. Dalam banyak kasus, pasien berada dalam posisi tidak berdaya, baik karena situasi darurat maupun karena relasi kuasa yang timpang antara pasien dan tenaga medis. Kita semua tahu, ketika berada di ruang perawatan, kata “tidak setuju” sulit sekali terucap.

Saya masih ingat ketika istri saya mengalami keguguran pada tahun 2020. Dari awal hingga akhir pemeriksaan, saya memilih mendampingi langsung. Seluruh tindakan medis yang dijalani tentu berkutat pada organ-organ reproduksi perempuan. 

Maka, sulit bagi saya membayangkan jika yang menangani istri saya saat itu adalah dokter laki-laki. Bukan tidak percaya, tetapi ada batas kenyamanan yang menurut saya penting dihargai. Dan ya, rasa cemburu sebagai suami pun tak bisa saya nafikan.

Baru-baru ini, saya kembali menemani istri ke IGD karena keluhan telinga berdenging. Pemeriksaan mengharuskan membuka jilbab untuk akses ke telinga. Bayangkan saja, bagaimana saya bisa tenang jika hal itu dilakukan oleh dokter laki-laki? 

Saya kira keresahan seperti ini tidak hanya milik saya, tetapi juga banyak keluarga pasien lain di luar sana yang hanya tak punya ruang untuk menyuarakannya.

Apakah Pelayanan Kesehatan Berbasis Gender Itu Mustahil? 

Saya rasa tidak. Ini bukan soal kolot atau modern. Ini soal membangun sistem pelayanan yang lebih manusiawi, adil, dan menenangkan hati, khususnya bagi pasien dan keluarganya.

Sayangnya, suara seperti ini kerap diredam oleh kalimat seperti, “Daripada tidak ditangani, lebih baik diperiksa meski oleh dokter berbeda jenis kelamin.” Kalimat itu mungkin relevan di masa lalu, ketika jumlah dokter masih sangat terbatas. Namun hari ini, ketika banyak dokter baru lulus setiap tahun, mengapa kita tak mulai mempertimbangkan sistem pelayanan yang lebih peka terhadap persoalan gender?

Menurut data Kementerian Kesehatan, rata-rata terdapat sekitar 12.000 lulusan dokter umum setiap tahun dari 117 fakultas kedokteran di Indonesia. Selain itu, terdapat sekitar 2.700 lulusan dokter spesialis per tahun dari 24 fakultas kedokteran penyelenggara pendidikan dokter spesialis. 

Meskipun distribusi dokter spesialis masih terkonsentrasi di Pulau Jawa, jumlah lulusan yang cukup besar ini menunjukkan bahwa kita memiliki potensi, meskipun bertahap, untuk mengimplementasikan pelayanan kesehatan berbasis gender secara lebih luas.

Meski faktanya banyak lulusan kedokteran ini belum cukup memenuhi rasio pelayanan kesehatan 1 dokter untuk 1.000 penduduk, namun saya yakin ini bukanlah hal yang tidak mungkin. 

Apalagi dengan peluncuran Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Berbasis Rumah Sakit Pendidikan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi pada 2024, secara bertahap dunia kesehatan kita akan mungkin melaksanakan pelayanan kesehatan berbasis gender.

Tentu, penerapannya perlu keterlibatan negara secara serius. Pemerintah perlu menyusun regulasi, peta kebutuhan, serta distribusi tenaga kesehatan secara proporsional. Salah satu upayanya bisa dimulai dari dunia pendidikan kedokteran. Perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan spesialis bisa membuka formasi yang mempertimbangkan keseimbangan gender. Misalnya, untuk spesialis kandungan, membuka lebih banyak peluang bagi dokter perempuan. Atau pada spesialis seperti THT, dibuat proporsi yang imbang antara dokter laki-laki dan perempuan, sehingga kelak rumah sakit dapat mengatur penugasan dokter berdasarkan gender pasien.

Sebagian orang mungkin akan bertanya, “Lantas, apakah dokter laki-laki tidak boleh menjadi spesialis kandungan?” Saya tidak mengatakan demikian. Namun mari kita jujur, proses kehamilan dan persalinan melibatkan tindakan medis yang sangat intim dan menyentuh organ vital kewanitaan. Dalam banyak budaya, ini adalah wilayah yang sangat privat. Maka, bukankah lebih bijak jika pasien perempuan ditangani oleh dokter perempuan?

Prinsip ini tak hanya melindungi pasien, tapi juga dokter. Kita perlu menyadari bahwa relasi yang terlalu dekat antara dokter dan pasien dengan gender berbeda dapat menimbulkan godaan, atau setidaknya membuka ruang untuk kesalahpahaman. Dengan pelayanan berbasis gender, kita menjaga profesionalisme kedua belah pihak.

Saya yakin banyak orang tua, suami, dan keluarga pasien yang selama ini menyimpan kekhawatiran serupa. Mereka hanya belum menemukan ruang yang tepat untuk menyuarakannya. Maka, saya menulis ini sebagai bentuk suara kecil dari kegelisahan itu.

Sudah saatnya kita menggagas sistem pelayanan kesehatan yang lebih berpihak pada rasa aman dan nyaman pasien. Jika hari ini kita bisa memilih sekolah berbasis gender, kenapa tidak untuk pelayanan medis?

Tentu saja, perubahan seperti ini tak akan mudah. Akan ada perdebatan, resistensi, bahkan tuduhan kolot terhadap gagasan ini. Namun saya percaya, jika tujuannya adalah untuk menyelamatkan integritas profesi medis, menjaga martabat pasien, serta membangun kepercayaan dalam pelayanan kesehatan, maka ini adalah perjuangan yang layak dilakukan!

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Saatnya Pelayanan Kesehatan Berbasis Gender”.

Penulis : Junjung Widagdo

Exit mobile version