Bekasi – Tintainformasi.com —
Komite Pemuda Peduli Pembangunan Desa (KP3D) melayangkan kritik keras terhadap fenomena meningkatnya simpanan pemerintah daerah (Pemda) di perbankan yang mencapai puluhan triliun rupiah per September 2025.
Data terbaru memperlihatkan lonjakan signifikan dana mengendap di rekening daerah, antara lain:
- DKI Jakarta: Rp 14,68 triliun (naik dari Rp 5,96 triliun),
- Jawa Timur: Rp 6,84 triliun,
- Kalimantan Utara: Rp 4,70 triliun,
- dan Jawa Barat: Rp 4,17 triliun (naik tajam dari Rp 1,85 triliun pada Desember 2024).
Lonjakan simpanan ini menjadi perhatian serius KP3D, terutama terhadap Provinsi Jawa Barat, yang menurut KP3D tidak sebanding dengan kondisi riil di lapangan, di mana banyak wilayah kabupaten/kota di Jawa Barat masih bergulat dengan jalan rusak, pengangguran tinggi, dan minimnya serapan program desa produktif.
Ketua Umum KP3D, PSF. Parulian Hutahaean, menilai bahwa penumpukan dana daerah di bank merupakan bentuk kegagalan moral dan manajerial kepala daerah.
“Bayangkan, Jawa Barat punya saldo Rp 4 triliun lebih, tapi desa-desa di Bekasi, Karawang, dan Garut masih bergantung pada swadaya warga untuk memperbaiki jalan. Ini bukan efisiensi — ini kemalasan birokrasi yang melukai logika keadilan sosial,” ujar Parulian.
“Rakyat tidak butuh laporan kas yang gemuk. Mereka butuh jalan mulus, irigasi hidup, dan lapangan kerja. Kalau APBD cuma diparkir di bank, sama saja uang rakyat ditidurkan, rakyatnya dibiarkan lapar,” tegasnya.
Menurut Parulian, KP3D akan memantau secara khusus kebijakan keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, termasuk alokasi dan serapan anggaran pembangunan desa, karena indikasi “dana parkir” ini sudah mengkhawatirkan.
Kuasa Hukum KP3D, Aslam Syah Muda, S.H.I., CT.NNLP, menyebut bahwa fenomena ini berpotensi melanggar prinsip pengelolaan keuangan daerah sebagaimana diatur dalam PP No.12 Tahun 2019 dan bahkan dapat mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi (Tipikor) jika terbukti ada unsur rente atau penyalahgunaan bunga deposito.
“Pasal 3 UU Tipikor tegas menyebutkan: setiap penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara adalah pidana. Bila dana publik disimpan tanpa alasan operasional yang sah, apalagi demi mendapatkan bunga, maka ada potensi penyalahgunaan kewenangan,” ujar Aslam.
“Provinsi Jawa Barat harus membuka transparansi kas daerah, termasuk sumber, tujuan, dan manfaat penempatan dana di bank. KP3D akan mengajukan permintaan resmi audit investigatif kepada BPK dan KPK,” tegasnya.
Aslam syah juga menegaskan bahwa dana publik harus “bekerja” untuk rakyat, bukan menjadi angka pasif di laporan kas daerah.
“Uang publik tidak boleh diam. Ia harus bergerak di sawah, pasar, jalan, dan sekolah. Jika uang hanya berputar di bank, itu bukan manajemen — itu pembiaran,” ujarnya.
KP3D mendesak Kementerian Keuangan dan Bappenas agar menetapkan batas maksimum saldo kas daerah di bank, serta mewajibkan Pemda untuk menyampaikan laporan transparansi real-time terkait posisi dana dan serapan anggaran publik.
“Negara tidak butuh pejabat yang pandai menyimpan uang, tapi yang berani mengerjakan uang demi kesejahteraan,” kata Parulian.
“Khusus untuk Jawa Barat, KP3D menuntut Gubernur dan BPKAD menjelaskan mengapa dana sebesar itu belum terserap maksimal di tengah kondisi desa yang memprihatinkan,” tambahnya.
KP3D menegaskan komitmennya untuk terus mengawal akuntabilitas keuangan publik hingga ke akar birokrasi. Bila dalam proses audit ditemukan indikasi pelanggaran hukum, KP3D siap menempuh jalur hukum dan pelaporan resmi ke aparat penegak hukum.
“Ini bukan sekadar kritik, tapi panggilan nurani. Karena ketika uang rakyat tidur, pembangunan mati pelan-pelan,” pungkas Aslam Syah Muda, S.H.I., CT.NNLP. ( Redaksi )

