Lampung,TintaInformasi.com–Irjen. Pol. Purn. Dr. Ike Edwin mengatakan gampang sebetulnya mengatasi masalah lahan antara masyarakat adat dengan para para pengusaha yang mengantongi hak guna usaha (HGU).
“Tinggal duduk bersama, pengusaha, BPN, Kehutanan, TNI/Polri, dan masyarakat adat,” katanya pada diskusi yang diadakan DPD Bara JP Lampung di Lamban Kuning, Sukarame, Kota Bandarlampung, Sabtu (12/2/2022).
Alasan dia, semua tanah itu ada riwayatnya. Di Lampung, ratusan tahun sebelum ada Indonesia, semua tanah-tanah dikuasai masyarakat adat yang kemudian disebut tanah marga atau ulayat.”berita yang di kutip dari Lampungposkota.co.id
Pada tahun 1920, Belanda melegalisasi tanah-tanah ulayat tersebut, ada batas-batasnya, tak pernah ada konflik antar marga. Pada tahun 1945, setelah Indonesia berdiri, tanah marga juga tak ada masalah.
Marga menghibahkan ribuan hektare lahannya kepada transmigrasi dari Pulau Jawa dan Bali. Jauh sebelumnya, di Kota Metro, Pesawaran, dan Pringsewu, marga-marga yang memberikan lahan ulayatnya.
Perusahaan-perusahaan, sewa dengan masyarakat adat. “Di Kabupaten Waykanan, orang tua Gubernur Arinal mewakili marganya salah satu tokoh adat yang menyewakan lahan ke perusahaan,” kata Dang Ike, panggilan Irjen. Pol. Purn. Dr. Ike Edwin sambil memperlihatkan dokumennya.
Sejak tahun 1970-an, katanya, para pengusaha, para oligarki bersama para pemangku kepentingan “mencaplok” tanah-tanah ulayat secara sepihak, tanpa berunding dengan masyarakat adat apalagi bayar sewa hingga hari ini.
Ironisnya lagi, kata Dang Ike, di dalam HGU itu, ada kampung yang ada jauh sebelum kemerdekaan RI. Dia juga mengungkapkan perusahaan perkebunan milik negara juga ikut mencaplok lahan-lahan marga.
“Ayo, BPN, Kehutanan, Tokoh Adat sama TNI-Polri selesai tapi sudah campur baur pengusaha sudahlah bertele-tele” tutur Dang Ike sapaan akrabnya.
Dang Ike juga menyampaikan kutipan dari pidato Presiden Jokowi. “Pak Jokowi pernah mengatakan, apabila kita lawan rakyat, mereka sudah ratusan tahun di situ, itu kampungnya, desanya, mereka tinggal di situ, negaranya yang mundur,” tirunya.
Menurut dia, tidak ada penduduk asli atau warga maupun masyarakat yang mau merebut tanah. Konflik itu terjadi sejak adanya pendatang yang ingin membuka usaha yang menggunakan lahan-lahan luas di daerah tersebut, katanya.
“Kalo warga itu gak akan merebut, karena warga tahu ada marganya, marga itu sudah dibuat ratusan tahun pada saat konflik bukan konflik pada warganya tapi sama pendatangnya,” tandasnya.
Mantan Kapolda Lampung ini juga menerangkan penyelesaian konflik agraria atau tanah ini sebenarnya mudah dan dapat diselesaikan jika negara mementingkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
“Gak susah kalo kita mau bersama-sama selesai bedasarkan pengalaman saya panggil semua, karna ujungnya semua kemakmuran dan kesejahteraan rakyat” pungkasnya kepada Lampungposkota.co.id.
Wasekjen Barisan Relawan Jalan Perubahan (Bara JP) Relly Reagen mengatakan Provinsi Lampung dalam kepungan mafia dan oligarki tanah yang didukung pemangku kepentingan.
Ratusan ribu hektare lahan adat dikuasai para pengusaha secara “legal” lewat HGU dan izin pemerintah pusat dan daerah. Karena alasan ini, Bara JP menggelar diskusi.
“Masyarakat telah puluhan tahun memperjuangkan hak-hak mereka terhadap lahan adat atau ulayatnya, namun selalu dikalahkan para pengusaha dan penguasa,” ujarnya kepada Lampungposkota.co.id.
Hadir dalam diskusi publik yang digelar DPD Bara JP Lampung, Staf Khusus Bidang Hukum Adat Kementerian ATR BPN RI Dr. Adli Abdullah, tokoh adat Irjen. Pol. Purn. Dr. Ike Edwin, senator dari Lampung Bustami Zainudin, dan Mantan Komisioner Komnas HAM SN Laila.
Hadir pula para tokoh, ormas, hingga masyarakat adat Lampung yang terampas lahan adatnya oleh para pengusaha dan penguasa. Mereka mengungkapkan lahan-lahan adat mereka sejak ratusan tahun lalu yang dicaplok begitu saja oleh oligarki dan pemangku kebijakan.
Adli Abdullah, dosen Universitas Syiahkuala itu membenarkan masih mencengkramnya oligarki atas lahan-lahan masyarakat adat/ulayat. Padahal hak-hak masyarakat adat diakui sejak masa kolonial dan UUD 1945. (Red)