Bandar LampungLampungNASIONAL

Langgar Perda No. 7 /2017, Wilmar Diduga Monopoli Pendistribusian Gabah di Lampung

440
TINTAINFORMASI.COM, BANDAR LAMPUNG — Provinsi Lampung yang digaungkan sebagai lumbung padi, dengan memproduksi beras sendiri, ternyata hanya isapan jempol. Ratusan pengusaha penggilingan padi di beberapa kabupaten di Provinsi Lampung menjerit lantaran usahanya mati suri akibat adanya dugaan praktek monopoli pembelian gabah para petani oleh Wilmar (PT Wilmar Padi Indonesia). Sementara diketahui, Pemerintah Provinsi Lampung telah mengeluarkan Perda No. 7 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Distribusi Gabah, namun sayangnya Perda tersebut tidak dijalankan. Di Lampung Tengah, salah satu pemilik usaha penggilingan padi di Kota Gajah mengeluhkan adanya dugaan monopoli oleh pihak Wilmar yang membeli gabah petani dengan harga tinggi mencapai Rp5.500. Hal ini sudah berlangsung sejak panen pertama di bulan Juni, sampai sekarang. “Kami gak berani lagi karena harga mereka (Wilmar) sudah tinggi, dan petani juga tidak mau menjual ke kami dengan harga dibawah itu, jadi mereka ngikut harga itu,” ungkap Ketua DPC Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Lampung Tengah, saat dikonfirmasi Bongkar Post, pada Jumat (14/10/2022). Dikatakan, jika kondisi ini terus berlangsung tanpa ada pengawasan dari pemerintah, akan mematikan pengusaha – pengusaha lokal. “Ya mereka para petani tidak mau lagi menjualnya kepada kami, usaha kami lama-lama akan mati, mereka jual ke pengusaha besar itu,” keluhnya. Agen – agen menjualnya ke Wilmar dengan harga mahal, pernah sampai Rp5.550. “Kami menjual dengan harga Rp5.100 saja sudah berat,” ucapnya. Sementara, lanjut dia, dari Dinas terkait belum ada tindakan. “Tidak ada taring,” tandasnya. “Kita lumbung pangan tapi kita kalah bersaing dengan perusahaan besar, dimonopoli harganya. Ini harusnya Satgas Pangan turun, jika gak turun penggilingan padi di Lamteng bisa mati suri semua,” imbuhnya. Kondisi serupa juga dialami Jainuri. Pemilik PT Wahyu Guna Diesel di Bumi Restu, Palas, Lampung Selatan mengungkapkan bahwa sejak adanya Wilmar, usahanya tidak jalan, dan ini sudah berlangsung sekitar dua bulan belakangan ini. “Hari ini belum ada mobil masuk, kami sekarang cuma jadi penonton, usaha kami turun drastis, agen beli dari petani sudah Rp5.100, sementara kami berani di angka Rp5000, kami kan memperhitungkan ongkos transport, pekerja dan sebagainya. Harga standar di agen lebih tinggi dari harga pemerintah,” jelasnya. Lanjut dia, dalam persoalan ini kuncinya ada di Bulog. Saat ini, pasca BBM naik, Bulog belum mengeluarkan HPP, bulan kemaren standar harga gabah kering Rp5.500 dan basah Rp4.500/Rp4.600. “Tolong kalau bisa bagaimana caranya usaha kami bisa lancar, diseimbangkan, jangan sampai ada perseteruan antara agen dan pemroses,” tandasnya. Berdasarkan informasi dari seorang sumber, Wilmar mengurangi kuota pembelian. Satu pabrik Wilmar di Cilegon sehari terima 1500 ton daya tampung, atau 214 ha panen. “Kalau 1000 ha panen, gak sampai 5 hari selesai. Sementara Palembang sehari bisa 2000 ton lebih daya tampung, atau 270 ha sehari. kalau lahan cm 2000 ha, 2 minggu selesai,” jelasnya. Jika kondisi ini terjadi terus menerus, lanjut dia, maka Wilmar akan dilaporkan ke Satgas Lapangan Kementerian. “Minimal Wilmar nanti menyetandarkan pembelian harga gabah dengan harga terjangkau, petani tidak akan dirugikan, tetap gabah diatas harga HTT pemerintah yang saat ini Rp4.250, kalau nanti kita beli Rp4.500 petani sudah untung besar,” ungkapnya. “Kita mengingatkan pemerintah untuk mengawasi. Dan ada aturan bahwa gabah tidak boleh ditimbun lebih dari 8ribu ton, atau beras lebih dari 2ribu ton,” ungkap sumber ini. Maraknya penjualan gabah keluar daerah di Provinsi Lampung ini, jelas melanggar Perda no 7 tahun 2017 tentang Pengelolaan Distribusi Gabah, yakni Pasal 5 ayat 2 yang menyatakan “Hasil pertanian berupa gabah dilarang untuk didistribusikan keluar daerah”. Untuk diketahui, PT Wilmar Padi Indonesia merupakan anak perusahaan dari PT Wilmar Nabati. PT Wilmar Padi Indonesia menjadi perusahaan penggilingan padi terbesar dengan kapasitas tahunan 7 juta ton. Perusahaan ini menjual beras dengan merek Sania, Fortune dan Lumbung Padi. Mirisnya, Jaksa Agung RI telah menetapkan empat orang tersangka perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO/minyak sawit mentah) dan turunannya pada bulan Januari 2021 sampai dengan Maret 2022. Dan dari keempat tersangka tersebut, tiga diantaranya berasal dari pelaku usaha, yang salah satunya berasal dari produsen minyak kelapa sawit utama dunia, Wilmar International. Master Parulian Tumanggor (MPT) yang merupakan Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia resmi ditetapkan sebagai salah satu tersangka dalam kasus dugaan korupsi tersebut. Wilmar merupakan perusahaan Singapura yang ikut didirikan oleh salah satu taipan asal RI Martua Sitorus, bersama pengusaha Singapura Kuok Khoon Hong. Saat persoalan ini dikonfirmasi ke Midi Iswanto, selaku Ketua Perpadi Provinsi Lampung, ia mengaku belum mengetahuinya. “Perusahaan dimana itu, kok anggota belum ada yang lapor ke saya ya,” ucap Midi.
Exit mobile version