TINTAINFORMASI.COM, BANDAR LAMPUNG — Menyikapi banyaknya sengketa pertanahan di Provinsi Lampung khususnya dan di Indonesia pada umumnya, Ahli Hukum Agraria Prof. DR. Syamsuddin Pasamai S.H., M.H., memberikan pencerahan tentang Undang-undang Hukum Agraria, Minggu 19/2/2023.
Menurut Dosen Universitas Hasanuddin Makassar dan Direktur Kajian Hukum Agraria Universitas Bandar Lampung (UBL) tersebut mengatakan, kategori tanah di Indonesia yang diakui oleh negara ada tiga.
“Di Indonesia ini ada tiga kategori hak atas tanah, yang pertama tanah hak milik negara, tanah hak milik perorangan dan badan-badan usaha serta tanah hak milik persekutuan hukum adat yaitu tanah Ulayat,” ujar Prof Syamsudin.
Khusus untuk hak atas tanah Ulayat Profesor Syamsuddin menjelaskan bahwa, “Sepanjang persekutuan hukum adat itu masih ada dan berkembang, maka hak atas tanah Ulayat itu diakui oleh negara dan dilindungi oleh Undang-undang,” jelasnya.
Adapun dasar hukumnya menurut Profesor Syamsuddin pasal 3 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960.
“Fungsi Negara dalam hal tanah ini hanya mengatur dan memperuntukkan bukan memiliki, karena yang memiliki hak atas tanah adalah seluruh warga masyarakat Indonesia, jadi sekali lagi negara hanya menguasai namun bukan memiliki,” tuturnya.
Masih menurut Profesor Syamsuddin, pada pasal 15 Peraturan Pemerintah no 18 tahun 2021 menyebutkan,
“Hapusnya Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 diatas, tanah Ulayat mengakibatkan tanahnya kembali kepada penguasaan masyarakat hukum Adat,” ulasnya.
Adapun kekuatan Hak Guna Usaha (HGU) atau hak pengelolaan menurut penjelasan Direktur Kajian Hukum Agraria UBL itu adalah,
“Kekuatan Hak Ulayat itu lebih kuat dari Hak Guna Usaha (HGU) atau hak pengelolaan,” tegasnya.
Dia juga mengatakan bahwa, “Apabila sudah ada keputusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka segera dibuat permohonan Eksekusi kepada pengadilan setempat, agar tanah Ulayat kembali ke penguasaan Persekutuan Masyarakat Hukum Adat,” imbuhnya.
Kemudian mengacu pada Peraturan Menteri Agraria no 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian hak Ulayat masyarakat hukum Adat.
“Jadi tidak bisa ditawar-tawar, karena undang-undang melindungi tiga macam hak atas tanah di Indonesia,” tandasnya. (Red)