Tintainformasi.com, Jakarta — Sahabat-sahabatnya di dunia maya mengenalnya dengan nama Shony. Demikian juga dengan teman sekelasnya sesama mahasiswa S-2 di Eropa, menyapanya dengan nama itu. Nama lengkapnya Wilson Lalengke, seorang Indonesia tulen dengan karakter Indonesia murni yang suka “angin-anginan” dan keras kepala. Terlahir sebagai anak pertama dari sebuah keluarga petani miskin 50-an tahun lalu dengan nama kecil Wilson dan nama keluarga (Fam) Lalengke, di sebuah kampung kecil yang sudah musnah ditinggal pergi para penghuninya di pedalaman Sulawesi Tengah. Kampung tua itu bernama Kasingoli.
Oleh Ibundanya, Wuranggena Kulua, dan almarhum Ayahandanya, Sion Lalengke, adik-adik dan keluarga besar, serta orang sekampungnya, sosok ini biasa dipanggil “Soni”. Pasalnya, kata “Wilson” adalah produk Barat yang tidak dikenal di komunitas kampung kecil tradisional tersebut. Akhirnya, sang Ibu memungut tiga huruf terakhir dari kata itu, S-O-N, dan menambahinya dengan I, menjadi SONI, yang kemudian bermetamorfosa kepada bentuknya sekarang yakni Shony.
Wilson cukup beruntung. Di pertengahan tahun 2000, ia yang saat itu berprofesi sebagai guru SMA di Pekanbaru berkesempatan mengunjungi Jepang melalui Youth Invitation Program yang disponsori oleh Japan International Cooperation Agency (JICA). Dia terpilih dari ribuan guru se-Indonesia untuk mengikuti program tersebut. Selang 4 tahun kemudian, Wilson berhasil mendapat kesempatan menerima beasiswa untuk melanjutkan studi pasca sarjana di Eropa. Berturut-turut, ia menyelesaikan studi pasca-sarjana, Master in Global Ethics di Universitas Birmingham, Inggris tahun 2006 atas beasiswa Ford Foundation – International Fellowships Program, dan Master in Applied Ethics di konsorsium Universitas Utretch Belanda dan Universitas Linkoping Swedia tahun 2007, atas dukungan beasiswa dari Komisi Eropa melalui program Erasmus Mundus. Lima tahun kemudian, ia juga berhasil meraih satu kursi di Sekolah Kepemimpinan Nasional untuk mengikuti Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) Ke-48 Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia tahun 2012.
Dalam usahanya mengembangkan diri, menempuh rangkaian pendidikan hingga mencapai jenjang pasca sarjana, Wilson yang menyelesaikan pendidikan Strata-1 (S-1) di Universitas Riau, Pekanbaru, menjalaninya dengan penuh perjuangan yang tidak dapat dikatakan mudah. Seperti banyak diketahui bahwa mengenyam pendidikan, apalagi di tingkat pendidikan tinggi, bagi warga termarginalkan di tanah air merupakan kesulitan yang belum teratasi hingga kini.
Sebelum akhirnya “terdampar” di Sumatera, Wilson yang dimasa kecilnya bercita-cita menjadi diplomat ini, menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di daerah kelahirannya, Sulawesi Tengah. Setelah menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Inpres Lee, di sebuah kecamatan terpencil, Kecamatan Mori Atas, dia kemudian melanjutkan ke SMP Negeri Tomata, di ibukota kecamatan itu. Hanya setahun di sana, ia pindah dan belajar di SMP Negeri 2 Poso, untuk kemudian melanjutkan studi di SMA Negeri 2 di kota yang sama. Hampir setahun menganggur setelah menamatkan SMA-nya, Wilson yang hobi beternak ayam dan memancing ini, kemudian merantau ke Bandung, dengan tujuan utama mengadu nasib mencari pekerjaan di tahun 1986.
Disebabkan oleh kesulitan mendapatkan pekerjaan di kota sejuk itu, ia kemudian merantau ke Pekanbaru, Propinsi Riau, di penghujung tahun itu juga. Di Pekanbaru, dengan bantuan dari sebuah keluarga dokter spesialis saraf (neurolog), keluarga dr. Chris Rumantir, Wilson yang gemar makan buah-buahan ini akhirnya boleh mendapat kesempatan kuliah setelah berhasil meraih satu kursi melalui Sipenmaru (Sistim Penerimaan Mahasiswa Baru, serupa UMPTN sekarang) di Universitas Riau. Ia diterima di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, untuk program studi PMP-KN, jenjang Diploma-2, tahun 1987 dan diselesaikan tepat 2 tahun setelahnya.
Sebelum berangkat kuliah ke Eropa, Wilson yang menikah dengan Winarsih, seorang wanita Jawa dari Blitar lebih dari 20 tahun lalu ini, tercatat bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Kantor Walikota Pekanbaru. Seperti halnya dalam menempuh studi, perjalanan karirnya juga penuh lika-liku yang sulit. Dimulai dari menjadi guru honorer selepas menamatkan program Diploma-2, di sebuah SMP swasta di pinggiran kota Pekanbaru di tahun 1989. Setahun kemudian ia mendapat tugas sebagai guru CPNS ke sebuah SMP negeri di kecamatan terpencil di Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau.
Lebih dua tahun bertugas di sana, ia kemudian meminta mutasi tugas ke Pekanbaru, terutama dimotivasi oleh keinginan melanjutkan studi. Tahun 1994, ia baru dapat melanjutkan kuliah dengan status “izin belajar” di jenjang S-1 di Universitas Riau sambil tetap menjalankan tugas sehari-hari sebagai PNS, namun saat itu ia dimutasi ke Kantor Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru.
Wilson, yang telah dikaruniai empat orang anak – Winda, Anggi, Angga, Anggun – ini, selanjutnya diberi tugas untuk menjadi guru di sebuah SMA unggulan di Pekanbaru sejak pertengahan tahun 1998, setelah ia menamatkan program sarjana setahun sebelumnya. Selain mengasuh mata pelajaran pokok sesuai latar belakang pendidikannya, ia juga aktif menjadi instruktur komputer dan internet bagi siswa dan teman-teman seprofesinya. Lima tahun mengabdi menjadi “cik-gu” di SMA Negeri Plus Propinsi Riau itu, ia kemudian dimutasi ke SMK Negeri 2 Pekanbaru.
Di tempat tugas barunya, Wilson yang dipercaya menjadi ketua Jaringan Informasi Sekolah (JIS) Kota Pekanbaru sejak tahun 2002, seakan menemukan dunianya: “dunia maya” sebagai wilayah untuk diexplorasi, mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan keahlian yang diperlukan bagi peningkatan diri. Dunia teknologi informasi kemudian menjadi bagian dari kesehariannya. Membangun jaringan atau network antar sekolah di Pekanbaru melalui program Wide Area Network (WAN) dan melaksanakan berbagai pelatihan-pelatihan baik untuk siswa maupun guru sekolah-sekolah se-Pekanbaru adalah tugas pokoknya di SMK itu. Kerjasama dengan beberapa instansi juga dijalin untuk mensukseskan program “melek TI” di kotanya, seperti bersama PT. Telkom, PT. Lintas Artha, dan lain-lain.
Selepas menyelesaikan program masternya, Wilson yang menyukai film spionase dan fiksi ini, kembali ke Indonesia menjelang akhir tahun 2007. Sebagai wadah implementasi atau penerapan ilmu yang diperoleh pada program pasca-sarjananya, ia aktif sebagai penulis di media online Kabar Indonesia, Koran Online Pewarta Indonesia, dan berbagai media online lainnya. Sebab dengan demikian, menurutnya, pemikiran-pemikiran berdasarkan teori filsafat dan etika yang dipelajari selama kuliah dapat disebarluaskan kepada setiap warga pembelajar di seantero nusantara.
Kesukaannya menulis sejak masa SMA telah mengantarkannya sebagai salah satu penulis yang dihadiahi predikat “Reporter of the Month April 2007″ oleh Kabar Indonesia. Sebelumnya, beberapa tulisannya juga telah dimuat di Harian Riau Pos dan Mingguan Genta, keduanya media lokal di Pekanbaru, serta di majalah Caltex, majalah internal PT. Caltex Pacific Indonesia. Di tahun 2007-2010, Wilson dipercaya menjadi Pimpinan Redaksi Kabar Indonesia, Pimpinan Redaksi Tabloid Explore Indonesia, dan saat ini sebagai Pimpinan Redaksi Koran Online Pewarta Indonesia dengan situs utama www.pewarta-indonesia.com.
Dalam pergaulan hidup keseharian, Wilson yang doyan makan “popeda”, sejenis panganan dari sagu, adalah seorang teman yang baik, kata rekan-rekan terdekatnya. Diapun termasuk figur ayah yang disayangi oleh anak-anaknya. Namun Wilson juga terkadang tidak menyenangkan bagi segelintir kalangan, terutama karena karakter dan ciri khasnya yang kepala batu dan suka menentang arus. Walau sering diingatkan oleh atasannya, “jangan menentang matahari, matamu bisa buta”, tetapi tetap saja ia bertahan pada prinsip “lebih baik buta, daripada berputih mata melihat ketidak-benaran dan kemungkaran yang berlangsung di depan mata…”
Itulah Wilson Lalengke, seorang anak bangsa yang tidak banyak keinginan, kecuali berharap agar segenap rakyat Indonesia sungguh-sungguh diberi kesempatan untuk menjadi sebenar-benarnya manusia di sepanjang usia mereka. ( Abbas pewarta )