Scroll untuk baca artikel
Mirza-Jihan
Sumatera Selatan

RUU Polri, Ancaman Nyata Bagi Demokrasi Bangsa

32
×

RUU Polri, Ancaman Nyata Bagi Demokrasi Bangsa

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Tintainformasi.com, Sumatera Selatan —Rapat Paripurna DPR RI secara resmi mengesahkan “Rancangan Perubahan Ketiga UU Nomor

1”. Keputusan Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“RUU Polri”) diundangkan sebagai usulan inisiatif DPR. Berdasarkan draf yang beredar, RUU Polri pada prinsipnya memuat beberapa ketentuan yang patut dipertanyakan, yang intinya adalah memperluas kewenangan Polri secara sembarangan (excessive) untuk dijadikan lembaga yang “superbody”. Selain itu, UU Polri juga gagal menyoroti permasalahan mendasar yang muncul di lembaga kepolisian selama ini, termasuk lemahnya mekanisme pengawasan dan kontrol masyarakat atas kewenangan polisi yang sangat besar (mekanisme pengawasan). Penegakan Hukum dan keamanan negara maupun kenyamanan serta keamanan masyarakat. Berbagai catatan dari masyarakat sipil dan beberapa lembaga negara menggambarkan bagaimana lembaga kepolisian nasional telah menjadi “aktor monopoli” dalam kekerasan,pelanggaran hak asasi manusia, salah urus, penyalahgunaan kekuasaan dan bahkan korupsi.

Misalnya, KontraS mengumpulkan kekerasan yang melibatkan polisi Indonesia antara tahun 2020 dan 2024. Setidaknya terdapat 651 kasus antara Juli 2020 hingga Juni 2021. Jumlah kasus meningkat menjadi 677 kasus pada Juli 2021 hingga Juni 2022. Sejak Juli 2022 hingga Juni 2023 jumlahnya mencapai 622 kasus. Sementara sepanjang Januari hingga April 2024, terjadi 1998 peristiwa kekerasan yang melibatkan polisi, berdasarkan pantauan KontraS. Adapun kategori pelanggaran berupa penembakan, penganiayaan, penyiksaan (torture), penangkapan sewenang-wenang (arbitrary arrest), pembubaran paksa, tindakan tidak manusiawi,penculikan, pembunuhan, penembakan gas air mata, water cannon, salah tangkap, intimidasi,bentrokan, kejahatan seksual, kriminalitas, hingga extrajudicial killing.

Menukil catatan terakhir Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI di tahun 2023, kepolisian menempati peringkat paling atas sebagai institusi yang paling banyak diadukan terkait kasus pelanggaran HAM dengan jumlah 771 kasus dari total aduan sebanyak 2.753. Peringkat ini menunjukkan “konsistensi” Polri sebagai aktor dominan institusi teradu pelaku pelanggaran HAM jika dibandingkan dengan data Komnas HAM di tahun-tahun sebelumnya. Pada 2022, Polri tercatat sebagai institusi yang paling banyak dilaporkan dengan 861 kasus.

Tak hanya itu, dugaan korupsi juga sering mencuat terhadap polri. Misalnya dalam pengadaan barang, sering dijumpai praktik-praktik yang mengarah pada praktik korupsi. Temuan ICW pada bulan Juli 2023 mengungkapkan bahwa pengadaan amunisi dan gas air mata pada masa pemerintahan Jokowi kemungkinan besar mengakibatkan praktik tender palsu yang melibatkan perusahaan palsu yang memenangkan tender dan menaikkan harga. Tak hanya itu, para petinggi Polri juga kerap terlibat dalam aktivitas kotor “bawah tanah” seperti Konsorsium 303 yang mencakup perilaku menyimpang dan penyalahgunaan wewenang kepolisian mulai dari jenderal hingga sersan polisi yang kerap “tunduk”. Terkait narkoba, Irjen Teddy Minahasa dan Partai Hukum dan Pembangunan Andriy Bustami bahkan divonis penjara seumur hidup atau mati.

Keberadaan RUU Polri secara substansi tidak memiliki agenda memperkuat perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan memihak kepentingan masyarakat sipil, hingga mengabaikan perbaikan mekanisme pengawasan yang pada gilirannya akan melanggengkan impunitas terhadap anggota kepolisian yang menjadi pelaku kejahatan atau pelanggar hukum.

Melalui RUU Polri ini pula, kepolisian semakin potensial menjadi salah satu aktor keamanan yang dapat dengan mudah dijadikan alat politik (police being as a political tool) untuk memfasilitasi kejahatan penguasa negara bahkan hingga alat kekerasan untuk menciptakan ketakutan di tengah masyarakat untuk melanggengkan kekuasaan. Bahkan yang tidak kalah membahayakan, RUU Polri ini secara simultan juga dapat memfasilitasi kebangkitan dwi fungsi ABRI dalam tubuh kepolisian sebagai aktor politik (political actor) yang menyimpang dari desain negara hukum dan demokrasi yang dicita-citakan paska reformasi. Berbagai kewenangan tambahan yang disisipkan dalam RUU Polri bahkan berada di luar tugas utama Polri yang diatur oleh Konstitusi yakni sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.

PASAL BERMASALAH YANG ADA

Revisi UU Polri akan semakin memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi;

hak untuk memperoleh informasi; serta hak warga negaraatas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kekuasaan atas dunia maya ini mencakup mengambil tindakan dan memblokir atau mengakhiri akses dan memperlambat akses ke dunia maya karena alasan keamanan internal. Sepanjang sejarahnya, tindakan untuk memperlambat atau mengganggu akses internet telah digunakan oleh protes dan gerakan masyarakat sipil, seperti dalam kasus Papua dan Papua Barat pada tahun 2019, yang oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Provinsi Jakarta dianggap ilegal dan telah digunakan untuk menekan .

RUU Polri akan memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki oleh Polrisampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Hal ini akan tercapai melalui sisipan Pasal 16A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan Intelijen merupakan tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan merubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan. Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS).

Kewenangan untuk melakukan penyadapan rentan terjadi penyalahgunaankarena pada RUU Kepolisian, kewenangan penyadapan oleh Polri disebutdilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan,padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturanperundang-undangan mengenai penyadapan. Hal tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan.

Revisi UU Polri akan semakin mendekatkan peran Polri menjadi superbody investigator.

Menurut Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Selain itu, Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup. Pada tahap rekrutmen, Kepolisian memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM. Hal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat Penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian yang membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena Penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian.

Lewat RUU ini, polisi juga mendapatkan wewenang untuk memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah inisiatif untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan sekuritisasi yang memiliki sejarah kelam pada tahun 1998. RUU Kepolisian masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Tetap diaturnya Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian harus dievaluasi karena faktanya justru memunculkan potensi timbulnya pelanggaran HAM maupun ruang bagi “bisnis keamanan”. Oleh karena itu pengaturan mengenai Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian semestinya ditinjau kembali.

Revisi UU Kepolisian akan menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahunbagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri yang tidak memilikidasar dan urgensi yang jelas. Dinaikkannya usia pensiun dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal Kepolisian. Usulan kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses rekrutmen dan kaderisasi dalam internal Kepolisian. Ketentuan ini juga harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh berkaitan dengan pengesahan RUU ASN maupun RUU Kementerian Negara yang diduga akan memberikan legalisasi praktik “dwifungsi ABRI” yang mengizinkan Anggota Polri menduduki jabatan sipil di Kementerian Lembaga. Revisi UU Polri juga menambah daftar kewenangan yang tidak jelas peruntukannya dan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antara kementerian/lembaga negara. Meski menambah deretan kewenangan terhadap Kepolisian, namun RUU Polri tidak secara tegas mengatur perihal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya. RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Evaluasi selama ini, Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru acapkali menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. Absennya kontrol, pengawasan, dan/atau penindakan efektif tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap polisi pelanggar sehingga berpotensi menimbulkan impunitas Kepolisian.

(Tommy perdana putra.)

formateur badko hmi sumbagsel

Mirza-Jihan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *