TINTAINFORMASI.COM, TULANGBAWANG BARAT — Pekerjaan enam paket peningkatan jalan pada Dinas PUPR Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) pada tahun 2023 lalu dengan total nilai kontrak sebesar Rp 34.173.891.000,00, diketahui bermasalah. Bahkan dapat dibilang, inilah proyek paling bermasalah.
Mengapa begitu? Karena terbukti kekurangan volume senilai Rp 310.753.262,61, dan ada ketidaksesuaian dengan spesifikasi kontrak sebanyak Rp 2.718.753.214,59, serta denda keterlambatan belum dikenakan sebesar Rp 87.812.647,75.
Proyek peningkatan jalan dimana saja yang paling bermasalah di Dinas PUPR tersebut? Mengacu pada LHP BPK RI Perwakilan Provinsi Lampung Nomor: 30B/LHP/XVIII.BLP/05/2024, tertanggal 2 Mei 2024, ini daftarnya:
1. Peningkatan jalan SP Panaragan Jaya (Protokol) – SP Gedung Ratu (DAK) yang ditangani PT TWU dengan nilai kontrak Rp 16.040.125.000,00. Terdapat ketidaksesuaian spesifikasi kontrak Rp 481.276.104,25, dan belum dikenakan denda keterlambatan sebesar Rp 43.351.689,19.
2. Peningkatan jalan Setia Agung – Terang Makmur (DAK). Proyek yang dikerjakan CV KAP dengan nilai kontrak Rp 8.515.142.000,00 ini diketahui kurang volume Rp 150.875.501,96, dan tidak sesuai spesifikasi Rp 464.528.987,71.
3. Peningkatan jalan SP Kartaharja – Marga Kencana, yang ditangani CV RK dengan nilai proyek Rp 5.087.761.000,00, diketahui kekurangan volume sebesar Rp 11.070.216,27, dan tidak sesuai spesifikasi Rp 1.282.179.958,35, serta belum dikenakan denda keterlambatan senilai Rp 36.668.547,75.
4. Peningkatan jalan Margodadi – Gunung Menanti. CV FB adalah pelaksana proyek senilai Rp 1.633.063.000,00 tersebut. Terbukti ada kekurangan volume atas pekerjaannya sebesar Rp 77.101.539,38, dan ketidaksesuaian dengan spesifikasi kontrak Rp 435.504.195,04.
5. Peningkatan jalan Penumangan Baru – Tirta Kencana. Paket proyek senilai Rp 1.456.204.000,00 yang dikerjakan CV IPK ini mengalami kekurangan volume Rp 28.185.999,08, dan tidak sesuai spesifikasi Rp 31.126.628,54.
6. Peningkatan jalan SP Margodadi – Margo Mulyo senilai Rp 1.441.596.000,00 yang dikerjakan CV DPP diketahui kurang volume Rp 43.520.005,92, tidak sesuai spesifikasi kontrak Rp 24.137.340,70, dan belum dikenakan denda keterlambatan sebanyak Rp 7.792.410,81.
Dari enam paket pekerjaan peningkatan jalan pada Dinas PUPR ini saja, BPK RI Perwakilan Lampung mencatat: setidaknya ada uang rakyat Tubaba yang “masuk kantong” para penyedia jasa konstruksi dengan total Rp 3.117.319.124,95. Dengan perincian: kelebihan pembayaran kepada CV KAP sebesar Rp 615.404.489,67, dan CV DPP Rp 67.657.346,62. Totalnya Rp 683.061.836,29.
Juga terjadi potensi kelebihan pembayaran kepada CV TWU sebesar Rp 481.276.104,25, CV RK sebanyak Rp 1.293.250.174,62, CV FB Rp 512.605.734,42, dan CV IPK Rp 59.312.627,62. Totalnya mencapai angka Rp 2.346.444.640,91.
Pun kekurangan penerimaan dari denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan dengan total Rp 87.812.647,75. Yaitu CV TWU sebesar Rp 43.351.689,19, CV RK Rp 36.668.547,75, dan CV DPP sebanyak Rp 7.792.410,81.
Terkait skandal penyimpangan anggaran pada enam paket pekerjaan peningkatan jalan pada Dinas PUPR ini, BPK RI Perwakilan Lampung merekomendasikan kepada Pj Bupati Tubaba agar memerintahkan Kepala Dinas PUPR untuk memproses kelebihan pembayaran, potensi kelebihan pembayaran, dan Kepala Dinas PUPR menginstruksikan PPK supaya mengenakan denda keterlambatan. Total keseluruhan dana yang harus dikembalikan ke kas daerah oleh penyedia jasa konstruksi enam paket pekerjaan tersebut mencapai Rp 3.117.319.124,95.
Sudahkah penyimpangan anggaran mencapai Rp 3,1 miliar tersebut ditangani dengan serius? Berdasarkan penelusuran media ini, rekomendasi BPK sama sekali belum ditindaklanjuti. Untuk mengingatkan saja, bahwa berdasarkan UU BPK RI Nomor: 15 Tahun 2006 dan peraturan pelaksana lainnya, laporan hasil pemeriksaan (LHP) tersebut bersifat final, dan mengikat serta harus ditindaklanjuti dalam kurun waktu 90 hari setelah diterbitkannya hasil pemeriksaan tersebut kepada publik.
Dan jika melampaui batas waktu yang telah ditentukan pihak terkait tidak juga menindaklanjuti temuan BPK, maka aparat penegak hukum (APH) – baik Polri maupun Kejaksaan- berwenang untuk melakukan penyelidikan. Karena temuan BPK sepenuhnya terkait dengan penggunaan keuangan negara dan daerah. Yang tidak menindaklanjuti temuan BPK bisa terindikasi secara nyata melakukan praktik tindak pidana korupsi.
(Red)