Tintainformasi.com, Tulang Bawang Barat — Polemik dugaan mark-up dan pengadaan fiktif dalam 12 paket pengadaan barang dan jasa di Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Kabupaten Tulang Bawang Barat (Tubaba) diperkirakan akan menjadi ujian bagi Aparat Penegak Hukum (APH), terutama Polres dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Tubaba yang baru dilantik.
Masyarakat mendesak agar kedua lembaga hukum ini segera mengusut tuntas kasus tersebut dan memeriksa semua pihak yang terlibat dalam realisasi anggaran tersebut.
Direktur Cabang Sentral Investigasi Korupsi Akuntabilitas dan HAM (SIKK-HAM) Tubaba, Merizal Yuli Saputra, menegaskan bahwa pemberitaan media dapat menjadi langkah awal bagi APH untuk memulai penelusuran.
“Kejari Tubaba harus proaktif mengusut masalah ini. Ini bukan delik aduan, jadi Kejari bisa langsung bergerak. Pemberitaan media bisa menjadi salah satu catatan perhatian publik,” tegas Merizal.
Menurutnya, APH harus lebih tanggap terhadap situasi ini karena kasus tersebut juga melibatkan nama Bupati Tubaba. Jika dibiarkan, hal ini dapat merusak citra pemerintah daerah serta menjadi contoh buruk bagi organisasi perangkat daerah (OPD) lainnya di Kabupaten Tubaba.
“Kami menunggu gebrakan dari Kepala Polres dan Kepala Kejari yang baru. Ini adalah ujian untuk menuntaskan dugaan penyimpangan tersebut dan membuka permasalahan ini secara terang agar tidak menimbulkan spekulasi liar di masyarakat,” tambahnya.
Dugaan Skandal Belanja DLHD Tubaba
Sebelumnya, sejumlah dugaan penyimpangan dalam 12 paket pengadaan barang dan jasa di DLHD Tubaba semakin menguat. Pengadaan yang melibatkan pihak ketiga, seperti dalam kasus swakelola jasa konsultansi, berawal dari Memorandum of Understanding (MoU) antara Bupati Tubaba dan Institut Teknologi Sumatera (ITERA). Namun, kontrak kerja dalam pelaksanaan kegiatan ini tidak jelas.
Salah satu paket pekerjaan, yaitu pemeliharaan alat berat excavator serta belanja jasa operator alat berat, menimbulkan kecurigaan. Alat berat tersebut dilaporkan dalam kondisi rusak, sehingga kuat dugaan belanja untuk pemeliharaan dan operator alat berat tersebut fiktif.
Ni Made Sri Karni Valopi, Kepala Subbagian Umum dan Kepegawaian DLHD Tubaba, menjelaskan bahwa pengadaan belanja untuk petugas kebersihan melibatkan 65 tenaga honorer DLHD. Namun, untuk pengadaan lainnya, ia menyarankan agar menanyakan langsung kepada kepala bidang yang bertanggung jawab.
Andi Kurnia, Kepala Bidang Tata Lingkungan DLHD Tubaba, mengakui bahwa pekerjaan penyusunan dokumen daya dukung dan daya tampung lingkungan dilakukan melalui kerja sama dengan ITERA. Namun, ia tidak dapat menjelaskan secara detail kontrak kerja antara DLHD dan pihak penyedia.
Di sisi lain, Hartawan, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, mengaku bahwa alat berat excavator memang telah lama rusak dan seharusnya menjalani perbaikan besar. Namun, anggaran tetap diajukan untuk pemeliharaan dan belanja jasa operator alat berat.
Dugaan Mark-Up dan Pengadaan Fiktif
Investigasi lapangan menunjukkan adanya sejumlah indikasi ketidaksesuaian dalam penggunaan anggaran. Sebagai contoh, belanja untuk petugas kebersihan diduga tidak sesuai dengan jumlah tenaga kerja dan gaji yang diberikan. Selain itu, beberapa pengadaan barang, seperti plastik sampah, keranjang sampah, dan peralatan lainnya, tidak ditemukan di lapangan.
Beberapa petugas kebersihan pasar mengaku bahwa sampah di pasar hanya diangkut dua hingga tiga kali seminggu, sehingga sering kali menumpuk dan menimbulkan bau tak sedap. Pengangkutan sampah yang tidak maksimal ini juga diperkirakan karena kurangnya jumlah petugas kebersihan yang terlibat.
Wanto, salah seorang petugas kebersihan pasar, mengungkapkan bahwa ia dan rekan-rekannya digaji oleh DLHD sebesar Rp850.000 per bulan, dan tenaga kebersihan pasar berjumlah sekitar 23 orang. Namun, jumlah ini jauh lebih sedikit dari yang dilaporkan dalam anggaran pengadaan.
Dengan berbagai temuan ini, masyarakat berharap aparat penegak hukum yang baru dapat menuntaskan dugaan kasus ini demi menjaga transparansi dan akuntabilitas anggaran di Kabupaten Tulang Bawang Barat. (Team.red)