Tintainformasi.com, Lampung Selatan — Sekretaris Ormas GMBI (Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia) Distrik Lampung Selatan, Suherman meragukan rilis hasil temuan survei Pilkada Lampung Selatan oleh lembaga survey Poltracking Indonesia. Menurut penilaian Suherman, ada beberapa masalah dalam rilis survey tersebut yang menurut dia janggal dan tidak dapat memenuhi pemahaman nalar logika sekalipun dengan cara berfikir yang paling sederhana.
Diungkapkan Suherman, yang menjadi catatan janggal penilaiannya adalah tingkat elektabilitas personal calon wakil bupati Syaiful Anwar yang dilaporkan Poltracking dalam rilis hasil survei. Dimana angka elektabilitasnya mengungguli calon wakil bupati nomor urut 01 Antoni Imam. Padahal kata dia, baik penilaian secara kasat mata maupun nalar logika secara umum, aspek-aspek faktor pendukung tingkat elektabilitas kandidat banyak terpenuhi oleh cawabup Antoni Imam.
“Ini sebagai pembanding ya, maksudnya beliau itu, Pak Antoni Imam kan pernah anggota DPRD Lampung Selatan 2 periode, pernah juga menjabat sebagai pimpinan untuk periode 2004-2009. Beliau juga pernah 2 kali terpilih dan dilantik sebagai anggota DPRD Provinsi Lampung. Kemudian, Pak Antoni Imam ini tercatat pernah 2 kali ikut sebagai kandidat dalam suksesi Pilkada Lampung Selatan sebagai calon wakil bupati. Artinya, sebagai faktor penentu tingginya elektabilitas, seperti popularitas, rekam jejak, kinerja, kepedulian sosial hingga dikenal memiliki kepribadian yang baik, ramah dan saleh, sudah melekat kepada sosok seorang Antoni Imam,” ujar Suherman, Kamis 21 November 2024.
“Kemudian bagaimana bisa, calon wakil bupati yang mana telah 2 kali gagal nyaleg, tidak diketahui apa dan bagaimana rekam jejaknya. Apalagi soal popularitas, coba ditanya kepada wartawan atau pengurus organisasi masyarakat di level Kabupaten, banyak gak yang paham dengan beliau, M. Saiful Anwar Ketua DPD Gerindra Lampung Selatan? Kebanyakan orang taunya bang Ozzy. Apalagi, siapa Syaiful Anwar ini kalau kita tanya langsung ke masyarakat secara umum. Tapi ya kok bisa melalui survei Poltracking Indonesia elektabilitas personal Syaiful Anwar mencapai 46,9% jauh mengungguli cawabup nomor urut 01 Antoni Imam yang hanya berkisar 36,1%,” imbuhnya.
Dikatakan Suherman, kejanggalan lainnya saat elektabilitas bakal calon bupati Egi Radityo Pratama yang awalnya hanya mencapai 17,1% pada saat survei di Juli silam. Tapi kemudian melesat bak pesawat terbang 2 bulan kemudian dengan tingkat elektabilitas mencapai 48,2% pada September. Poltracking berdalih, terjadinya crash peningkatan elektabilitas karena hanya faktor adanya kepastian sebagai calon kepala daerah pasca penetapan paslon oleh KPU setempat.
“Kalau rekayasa hasil survey kayanya gak deh, tapi bisa saja dengan cara lain. Misalnya tehnik-tehnik dalam disiplin ilmu statistik. Seperti pemilihan responden dalam survei. Atau bisa juga dengan penyusunan pertanyaan yang menggiring jawaban ke salah satu paslon. Semua bisa saja terjadi, makanya kerap kita temukan 2 hasil survey yang sangat jauh berbeda oleh 2 lembaga survey, padahal baik metode maupun waktu pelaksanaan survei dilakukan nyaris bersamaan,” tutur Suherman.
Suherman pun mengungkapkan adanya persetujuan dari dirinya atas pendapat sejumlah pihak, jika Poltracking Indonesia, dalam prakteknya kerap merangkap sebagai konsultan politik untuk sejumlah kandidat calon kepala daerah. Bahkan Suherman menduga, Poltracking Indonesia dari awal memang sudah dirancang masuk dalam big design tim pemenangan 2 partai utama Koalisi Indonesia Maju (KIM) Gerindra-PAN.
“Bisa kita simak bersama, bahwa ada sejumlah pilkada, dimana jika Poltracking ikut cawe-cawe disitu, maka akan terlihat persamaan gaya yang khas. Menunjukkan bahwa pengelolaan manajemen politik tersebut dari sumber yang sama. Contohnya, kandidat tersebut diusung paling tidak dari 2 partai utama KIM, yakni Gerindra – PAN. Kemudian yang paling khas banget itu, setelah Poltracking rilis temuan hasil survei, maka akan berlanjut ekspos rilis berita oleh sejumlah media daring ternama dengan disertai adanya pendapat dari pihak pengamat atau akademis untuk memperkuat klaim kemenangan dalam survei itu. Style atau gaya seperti itu persis sama juga terjadi seperti di Pilkada Lampung Selatan, Bojonegoro, Majalengka dan beberapa pilkada gubernur, yang mana Poltracking ikut cawe-cawe disitu,” tukas Suherman.
Rilis hasil survey, terus Suherman, merupakan suatu gerakan propaganda politik dalam upaya untuk menggiring opini masyarakat. Bahwa kandidat tersebut, sesuai dengan klaim faktanya memang layak menang dalam elektoral nantinya. Atau dalam istilahnya dikenal dengan sebutan ‘Bandwagon effect’. Bahwa dalam politik, hasil survei elektabilitas misalnya, bisa jadi dapat menciptakan tren dukungan pada sosok kandidat tertentu yang diikuti oleh para pendukung lainnya yang ikut-ikutan.
“Ketika seseorang melihat hasil survei yang menunjukkan bahwa suatu kandidat atau partai politik mendapatkan dukungan yang luas dan populer, maka mereka, yakni masyarakat pemilih mungkin cenderung mengikuti arus dan mendukung juga. Itulah yang disebut Bandwagon effect,” ucap Suherman.
Menurut Suherman, sudah banyak contoh peristiwa yang mengungkapkan fakta, bahwa telah banyak lembaga survey memang hanya dijadikan sebagai alat propaganda politik untuk tujuan kekuasaan. Bagi Herman fenomena tersebut, adalah terjadinya distorsi antara kebenaran fakta dan suatu penyimpangan manipulatif yang nampak serupa tanpa celah. Menurut Suherman, semuanya itu masih berada dalam satu lingkaran dengan 2 sisi garis pembatas yang disebut kepentingan.
“Yang terjadi adalah distorsi. Maka tak heran jika dalam satu peristiwa, baik itu dalil pembenaran ataupun menyalahkan dapat diterapkan secara bersamaan. Kedua sisi tersebut ternyata dapat dimanfaatkan sama baiknya asal sesuai dengan pesanan kepentingannya,” pungkasnya.(RS/*)