Bandar Lampung

Ketua LBH PWRI : Aneh Polisi Tangguhkan Penahanan Tersangka Pencabulan Terhadap Anak Dibawah Umur

160

Tintainformasi.com, Bandar Lampung — Sejumlah Kalangan menilai aneh kebijakan Kepolisian Resort Kota (Polresta) Bandar Lampung, Polda Lampung yang menangguhkan penahanan tersangka kasus pencabulan anak di bawah umur berinisial FZ (26) yang berprofesi sebagai guru di salah satu Sekolah Dasar (SD) swasta di Bandar Lampung.

Polisi beralasan penangguhan penahanan tersebut berdasarkan permohonan pihak keluarga, tersangka kooperatif, ada uang jaminan sebesar Rp 50 juta, dan polisi meyakini bahwa tersangka tidak akan melarikan diri.

Salah seorang praktisi hukum yang juga sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pembela Wartawan Republik Indonesia (PWRI) Darmawan S.H.,M.H. menyatakan, polisi harus mempertimbangkan alasan objektif dan subjektif dari pemberian penangguhan itu. Alasan objektif itu mengenai ancaman hukuman dan pasal perlindungan anak Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002.

Ancaman hukuman dalam undang-undang itu minimal lima tahun penjara. Sehingga, menurut Darmawan, polisi seharusnya tidak mengabulkan penangguhan penahanan tersangka. Selain itu, alasan subjektif melepas tersangka untuk tidak di dalam jeruji perlu dipertimbangkan.

Pasalnya, kata Darmawan, jika alasan tersangka tidak akan melarikan diri maka polisi harus mempertimbangkan secara matang. Apalagi tersangka berprofesi sebagai guru, yang seharusnya menjadi contoh dan tauladan yang baik serta melindungi fisik maupun maupun mental anak muridnya.

“Tentu ini alasan kepolisian untuk menangguhkan aneh, karena kejahatan seperti ini kan sudah cukup banyak contoh dilakukan penahanan, apalagi berkaitan dengan pencabulan terhadap anak, mana ada, kita temukan satu dari seribu mungkin,” tegas Darmawan saat diminta tanggapan diruang kerjanya, Jum’at (01/11/2024).

Darmawan pun mempertanyakan garansi dari penjamin tersangka. Ia mengatakan, penangguhan bisa diberikan terhadap tersangka dengan menggunakan alasan subjektif seperti apabila tersangka tengah sakit parah dan harus menjalani perawatan intensif.

“Jika dia masih kuat, dalam keadaan sehat, seharusnya diperlakukan sama dengan tersangka pencabulan terhadap anak yang lainnya dimata hukum,” ucap Darmawan.

Pada pokok aturan, ia memandang sifat dari undang-undang perlindungan anak tersebut tidak memberikan ruang untuk penangguhan penahanan kepada pelaku kejahatan. Baginya, regulasi tersebut jelas mengatur tentang perlindungan anak dan generasi muda sejak usai dini dari tindakan kekerasan.

Dikatakannya, seharusnya penyidik tetap menahan tersangka dan langsung melimpahkan kasusnya di kejaksaan supaya cepat diproses hukum. Bukannya malah ditangguhkan. Darmawan pun bingung dengan sikap kepolisian. Ia melihat, dengan menetapkan tersangka berarti polisi sudah punya alat bukti yang cukup.

Lebih jauh Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH-PWRI) itu menilai, pencabulan anak di bawah umur masuk dalam kategori kasus lex specialis, sehingga polisi tidak boleh menyamakan dengan kasus pidana umum.

“Sebenarnya kasus ini adalah lex specialis, jadi tidak boleh dipersamakan perlakuannya dengan kasus pidana umum, seperti pencurian, penggelapan. Apalagi korbannya adalah anak di bawah umur,” kata Darmawan.

Masih menurut Darmawan, tersangka kasus pencabulan anak di bawah umur harusnya wajib ditahan. Jangan ada perlakuan istimewa, karena perbuatan tersangka adalah perbuatan keji yang bisa menganggu psikis korban dan trauma bagi anak-anak murid yang lainnya.

Di sisi lain, kata dia, keluarga korban maupun korban itu sendiri juga bisa trauma saat melihat tersangka tidak ditahan. Bisa juga berakibat fatal karena dikhawatirkan keluarga korban merasa ada ketidakadilan akibat keputusan pihak kepolisian menangguhkan penahanan terhadap pelaku pencabulan terhadap keluarga mereka.

Jika alasan polisi menangguhkan penahanan karena tersangka kooperatif, Darmawan menyebut, hal itu tak cukup kuat untuk menjadi alasan. Sebab, tersangka lain di kasus yang sama pun akan kooperatif.

“Alasannya jangan terlalu mengada-ada, kalau alasannya kooperatif, sebenarnya semua orang bisa kooperatif, karena kalau kasus seperti ini kebanyakan tersangkanya kooperatif. Jadi kalau alasannya itu, tidak cukup beralasan,” sambungnya.

Darmawan menegaskan kewenangan penangguhan penahanan oleh polisi terus memicu persoalan. Kata dia, polisi selalu menggunakan hak diskresi yang dia anggap adalah hak abu-abu. Sebab tidak berlaku terhadap tahanan lain.

“Hak diskresi ini abu-abu, dan bisa menjadi pisau bermata dua. Bisa menguntungkan tersangka, tapi juga bisa merugikan korban,” tutup dia.

Sebelumnya, tersangka pencabulan anak di bawah umur berinisial FZ (26) diduga dilepas kembali oleh Polresta Bandar Lampung, setelah dilakukan penahanan sejak tanggal 19 Oktober 2024.

Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (Kasatreskrim) Polresta Bandar Lampung Kompol M. Hendrik Aprilianto membenarkan bahwa pihaknya menangguhkan penahanan tersangka karena ada pengajuan dari pihak keluarga tersangka, dan jaminan dari Keluarga tersangka.

“Kooperatif tersangkanya. Jadi bukan kami tangkap tapi kami panggil via telepon dan ia datang sendiri, sehingga kami nilai kooperatif, kita tidak khawatir dia melarikan diri, karena ada jaminan dari orang tuanya, ada jaminan uang Rp 50 juta, dan ada jaminan SHM tanah milik kakak kandung tersangka.” jelas Kasatreskrim Polresta Bandar Lampung kepada awak media beberapa waktu yang lalu. (Team.red)

Exit mobile version