Lampung

Sampai Dimanakah Proses Hukum Penemuan Mayat Di Tol Lampung, Benarkah Ada Dugaan Keterlibatan Oknum Polisi

205
×

Sampai Dimanakah Proses Hukum Penemuan Mayat Di Tol Lampung, Benarkah Ada Dugaan Keterlibatan Oknum Polisi

Sebarkan artikel ini

Tintainformasi.com, Lampung —Gemparnya pemberitaan Mayat seorang pria yang ditemukan pada Senin (28/10) dengan Identitas mayat laki-laki yang ditemukan sudah membusuk di drainase KM 3B Jalan Tol Lampung ruas Bakauheni-Terbanggi Besar (Bakter) terungkap.

Mayat laki-laki itu bernama Manda Purnomo (28), warga Kecamatan Kemiling, Kota Bandarlampung. Hal ini diketahui setelah Polres Lampung Selatan memeriksa lima saksi.

Scroll Untuk Baca Artikel
Tour Travel
ADVERTISEMENT

“Identitas korban sudah kita ketahui setelah pemeriksaan lima saksi. Inisial korban MP, dia (korban) ini warga Kota Bandarlampung,” kata Kapolres Lampung Selatan, AKBP Yusriandi Yusrin dalam keterangan persnya, Rabu (30/10).

“Di RSUD Bob Bazar inilah ada pihak keluarganya yang datang, sehingga diketahui identitas mayat laki-laki itu lalu kami mintai keterangan,” kata Yusrin.

Saat ditemukan, lanjut AKBP Yusrin, di tubuh korban ditemukan kunci sepeda motor serta ponsel android di saku celananya.Sepeda motor korban ditemukan di gerbang tol Itera. Sementara ponsel korban saat ditemukan dalam kondisi mati, namun setelah terisi daya ternyata masih aktif.

“Ponselnya sudah berhasil kita hidupkan, terakhir sempat menghubungi keluarga. Yang jelas, kami sedang berusaha membuka ponsel itu guna keperluan penyidikan lebih lanjut,” terangnya.

Ia menambahkan kondisi mayat sudah dalam keadaan membusuk, perkiraan korban meninggal sekitar 2-4 hari lalu. Namun polisi belum mengetahui penyebab kematian korban.

“Untuk autopsi jasad korban, kita lakukan Selasa kemarin di RS Bhayangkara. Mengenai hasilnya, kami masih menunggu,” katanya.

Yusrin juga merespons informasi bahwa mayat laki-laki yang ditemukan sudah membusuk itu diduga korban pembunuhan, dan dugaan keterlibatan oknum anggota polisi.

Yusrin mengaku telah mendapat informasi dugaan keterlibatan oknum polisi terkait kematian Manda Purnomo (28).

“Ada informasi mengenai hal itu, tapi belum bisa kami pastikan dan masih ditampung sebagai bahan penyelidikan. Namun ini bisa menjadi masukan dan petunjuk bagi kami untuk mengungkap kasusnya, dan memang harus kami lakukan penyelidikan lebih lanjut,” kata dia.

Ia juga mengatakan, pihaknya saat ini berkoordinasi dengan Bidpropam dan Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimsum) Polda Lampung untuk mengungkap kasus tersebut.

“Saat ini sifatnya masih pendalaman terlebih dulu, nanti akan diinformasikan lagi,” ujarnya.

Dugaan peristiwa pembunuhan ini mendapatkan tanggapan serius dari Syech Hud Ismail, S.H., salah satu Advokat yang juga sebagai Sekretaris DPW Persatuan Advokasi Indonesia (PERSADIN) Provinsi Lampung.

Menurutnya proses pendalaman Penyelidikan perkara ini harus serius diusut tuntas tanpa kompromi sebagaimana aturan hukum yang berlaku begitupun dengan sanksi yang diberikan _Culpae poenapar esto (hukuman harus setimpal dengan perbuatannya)._

Adapun Sanksi Hukum Terhadap Polisi yang Melakukan Tindak Pidana Pembunuhan dapat diuraikan sebagai berikut, bahwa kejahatan berkembang seiring dengan perkembangan peradaban manusia, dan dapat dikatakan bahwa kejahatan lahir bersamaan dengan lahirnya peradaban manusia. Perkembangan kejahatan juga diiringi dengan perkembangan pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, perlu adanya penjatuhan pidana yang tepat dan proses pembinaan terhadap narapidana yang tepat, agar tidak terjadi perkembangan tindak pidana dan residivis (Hutajulu et al., 2014).

Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. kenyataan telah membuktikan, bahwa kejahatan hanya dapat dicegah dan dikurangi tetapi sulit diberantas secara tuntas (Waluyo, 2002).

Polisi sebagai salah satu aparat penegak hukum yang mempunyai tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat Indonesia diberikan tugas untuk melakukan pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan tindak pidana. Keberadaan polisi sebagai pelaksanaan awal sistem peradilan wajib melakukan tugas dan wewenang sebagai aparat penegak hukum. Meskipun demikian terdapat beberapa oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya sebagai aparat penegak hukum dengan ikut dalam kasus pembunuhan. Tentu hal tersebut dapat menyebabkan hilangnya rasa percaya masyarakat terhadap kredibilitas polisi untuk memberikan jaminan kepastian hukum atau memberikan perlindungan hukum terhadap masyarakat atas maraknya tindak pembunuhan yang terjadi (Utomo, 2005).

Setiap anggota Polri bertanggung jawab melaksanakan tugas-tugas kepolisian agar mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam melaksanakan tugasnya, setiap tindakan anggota Polri tidak boleh melawati batas-batas tertentu. Batasan tersebut disebut dan diatur menurut Kode Etik Keprofesian Polri sebagai landasan serta pedoman dalam menjalankan tugas setiap anggota Polri.

Kode etik profesi Polri sendiri telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Bahkan dalam pasal 1 angka (1) dijelaskan bahwa : Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis yang menjadi pedoman sikap, perilaku dan perbuatan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab serta kehidupan sehari-hari.

Tindak kekerasan juga lebih dikenal dengan tindak kejahatan, dan hingga saat ini belum memiliki Hukum Positif yang mengatur sehingga upaya penegakan Hukum melalui peradilan sangatlah lemah. Keberlakuan dan efek dari kode etik Polri sendiri masih berdasar kepada kesadaran moral anggotanya (POLRI). Penegakan etika profesi ini tidak memiliki Hukum Positif dan sanksi yang keras berbeda dengan peraturan perundang undangan yang memang bersifat memaksa serta memiliki sanksi yang harus dilaksanakan. Penegakan pada kode etik Polri dipandang remeh oleh beberapa orang, hal ini disebabkan kurangnya penegakan dalam setiap pelanggarannya. Sehingga menurut penulis pencegahan yang dapat dilakukan adalah memperbaiki moral dari pada anggota POLRI, seperti halnya melakukan penyuluhan yang bertema kan etika dan moral. Semua itu hanya lah upaya karena sejatinya segala hal tersebut bergantung pada moral yang hanya dapat diperbaiki oleh dirinya sendiri atau adanya kesadaran dari setiap individu.

Sanksi kode etik terhadap polisi yang melakukan tindak pidana pembunuhan, bahwa pada dasar penyidikan terhadap Anggota Polri yang disangka melakukan tindak pidana adalah adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat.Laporan atau pengaduan tersebut disampaikan melalui Kepala Seksi Pelayanan Pengaduan Bidang Profesi dan Pengamanan (Kasi Yanduan Bid. Propam), selanjutnya Kabid Propam mendisposisikan kepada Kepala Sub Bagian Provos (Kasubbid Provos) melalui Kepala Unit Penyidik (Kanit Idik) untuk melakukan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap anggota dimaksud berikut saksi korban dansaksi-saksilainnya.

Jika dari hasil pemeriksaan Kanit Idik atau anggota Idik, mengarah pada tindak pidana, maka Kabid Propam setelah meminta saran dan pendapat hukum pada Bid.Binkum melimpahkan perkara tersebut kepada Dit Reskrim (untuk tingkat Mapolda) atau Kasi Propam melimpahkan perkara ke Satuan Reskrim (untuk kewilayahan) dengan tembusan Ankum di mana anggota tersebut ditugaskan.

Di samping itu juga, hasil penyidikan masih belum menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya atau kurang dilakukan pendalaman terhadap kasus yang ada, dan tidak jarang berdampak pada penghentian penyidikan dengan alasan tidak cukup bukti atau kasus yang ditangani bukan perkara pidana dan atau kasus anggota yang melakukan tindak pidana tersebut sudah diselesaikan melalui mekanisme internal Polri, yaitu sidang disiplin dan atau sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri.

Lalu bagaimana jika pelaku pembunuhan tersebut secara terang adalah oknum anggota polisi, untuk diketahu bahwa yang berhak mengadili polisi dan dasar hukum mengadili polisi kini tercantum dalam Pasal 29 UU Kepolisian yang mana anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana tata cara pemeriksaan polisi yang melakukan tindak pidana?

Mengenai tata cara pemeriksaannya, Anda dapat merujuk ketentuan dalam PP 3/2003. Pada prinsipnya, proses peradilan pidana bagi anggota kepolisian secara umum dilakukan menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Sehingga, anggota Polri tunduk pada kekuasaan peradilan umum, bukan kekuasaan peradilan militer. dengan memperhatikan prosesi pemeriksaan di tingkat penyidikan dilakukan dengan memperhatikan kepangkatan :

a. Tamtama diperiksa oleh anggota kepolisian berpangkat serendah-rendahnya Bintara;

b. Bintara diperiksa oleh anggota kepolisian berpangkat serendah-rendahnya Bintara;

c. Perwira Pertama diperiksa oleh anggota kepolisian berpangkat serendah-rendahnya Bintara;

d. Perwira Menengah diperiksa oleh anggota kepolisian berpangkat serendah-rendahnya Perwira Pertama;

e.Perwira Tinggi diperiksa oleh anggota kepolisian berpangkat serendah-rendahnya Perwira Menengah.

Bagi tersangka atau terdakwa anggota kepolisian, tempat penahanannya dapat dipisahkan dari ruang tahanan tersangka atau terdakwa lainnya. Bahkan anggota kepolisian yang ditetapkan jadi tersangka/terdakwa dapat diberhentikan sementara dari jabatan dinas kepolisian sejak proses penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Kemudian untuk penuntutan dilakukan di lingkungan peradilan umum oleh jaksa penuntut umum sesuai peraturan yang berlaku. Begitu pula dengan pemeriksaan di muka sidang pengadilan oleh hakim peradilan umum.dan untuk selanjutnya, jika sudah didakwa dan dijatuhi vonis, pembinaan narapidana anggota kepolisian dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan.

Anggota polisi yang melakukan tindak pidana diberhentikan tidak dengan hormat apabila dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas kepolisian. Pemberhentian ini dilakukan setelah melalui sidang Komisi Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Siapa yang berwenang memberhentikan anggota kepolisian?[8]

a. Presiden Republik Indonesia untuk pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) atau yang lebih tinggi;

b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk pangkat Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) atau yang lebih rendah.

Sebagai tambahan informasi, jika polisi melakukan pelanggaran kedisiplinan, yang bersangkutan dapat diberikan hukuman disiplin berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor. 2 Tahun 2003 Tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dengan demikian, polisi yang melakukan tindak pidana pembunuhan diproses pidana menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum dengan memperhatikan beberapa ketentuan beracara sebagaimana disebutkan di atas.

Berdasarkan uraian tersebut, hal ini berarti penjatuhan hukuman oleh Ankum secara subyektif kepada terperiksa yang melakukan pelanggaran pada persidangan disiplin akan diproses secara Peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri yang belum menuntaskan perkaranya. menjatuhan sanksi hukuman disiplin yang ringan bahkan berat belum membebaskan terperiksa dari sanksi pelanggaran disiplin, karena harus melalui lagi proses Penyidikan pda Peradilan umum. Jika hukum tertulis yang mengatur suatu bidang kehidupan tertentu dan bidang-bidang lainnya yang berkaitan berada dalam kepincangan.

Terkait dengan tindak pidana pembunuhan oleh angota polisi, ketentuan mengenai hukum pidana terkait pembunuhan dalam Pasal 338 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang mana pembunuhan diancam dengan hukuman pidana 15 tahun penjara (lebih dari 4 tahun), maka tentunya harus dilakukan proses peradilan umum terlebih dahulu sebelum sidang KKEP. Lebih lanjut, fungsi Seksi Propam dengan yang bertugas langsung melaksanakan pengawasan dan penindakan dapat dijalankan secara maksimal terhadap anggota Polri yang bermasalah. Oleh karena itu apabila Tugas dan tanggungjawab Propam Polri ingin dapat berjalan secara maksimal dan sesuai harapan. Secara hukum polisi maupun warga sipil memiliki status hukum yang sama. Maka dari itu, sanksi yang diterima warga sipil akan sama dengan sanksi yang akan diterima oleh polisi yang terbukti melakukan tindak pembunuhan. Sanksi Pidana Pembunuhan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP secara garis besar dikelompokkan menjadi 2(dua) golongan, yaitu pertama berdasarkan unsur kesalahannya, kedua berdasarkan objeknya.

Berdasarkan unsur kesalahannya tindak pidana pembunuhan dibedakan menjadi 2(dua) macam, yaitu Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven). Kejahatan ini diatur dalam Buku Kedua Bab XIX KUHP Pasal 338 sampai dengan Pasal 350. Selanjutnya kejahatan

terhadap nyawa yang dilakukan dengan tidak sengaja (culpose misdrijven). Tindak pidana ini diatur dalam Buku Kedua Bab XXI KUHP Pasal 359.

Berdasarkan objeknya/korban (kepentingan hukum yang dilindungi) kejahatan terhadap nyawa dibedakan menjadi 3 macam yaitu kejahatan terhadap nyawa manusia pada umumnya, diatur pada Pasal 338, 339, 340, 344, dan 345 KUHP. Sedangkan Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat dilahirkan atau sesaat/tidak lama setelah dilahirkan, perbuatan ini diatur dalam Pasal 341, 342, dan 343 KUHP. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan atau masih berupa janin, dimuat dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP.

Pada dasarnya adalah didalam dugaan peristiwa pembunuhan ini, ada beberapa kategori tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan polisi maupun warga sipil menjadi dua macam yaitu kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dan yang ilakukan tidak dengan sengaja.

Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tindakan pembunuhan diatur dalam Bab XIX pasal 338 tentang kejahatan terhadap nyawa. Pengaturan hukum bagi oknum polisi yang melakukan tindak pidana pembunuhan akan di proses perkara dalam sidang peradilan umum, setelah adanya putusan dan selesai menjalankan sanksi yang diterima, selanjutnya anggota polisi akan menjalankan sidang peradilan kode etik dengan sanksi pemecatan secara tidak hormat. Sanksi hukum terhadap anggota polisi yang melakukan tindak pidana pembunuhan, menurut Undang-undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, dalam pasal 18 dijelaskan bahwa polisi diberi wewenang dalam keadaan tertentu untuk melakukan tindakan menurut penilaian sendiri atau bisa dikenal sebagai kekuasaan diskresi fungsional menetapkan pribadi-pribadi polisi sebagai faktor sentral dalam menegakan hukum. Adapun penjatuhan sanksi hukum disiplin diputuskan dalam sidang disiplin, dalam tindak pidana pembunuhan yang dilakukan anggota Kepolisian telah melanggar disiplin dan kode etik kepolisian.

Sekiranya dugaan oknum polisi ini terbukt secara hukum, ini dapat dijadikan hikmah agar setiap anggota kepolisian wajib mentaati aturan-aturan kepolisian serta dalam kode etik kepolisian, dapat melihat aturanaturan disiplin kepolisian, sehingga anggota hendaknya menjaga martabat kepolisian dan selalu mentaati peraturan yang telah diterapkan di dalam UU No 2 Tahun 2002. Bagi masyarakat, jika anggota polisi melakukan tindak pidana maka harus ditindak tegas, sehingga tidak meresahkan masyarakat sekitar, agar tidak menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap anggota polisi

Transparansi informasi tahapan penyelidikan adalah instrumen yang penting. Kepolisian harus menuntaskan penyidikan ini dengan segala cara. Ini adalah kewajiban yang tidak bisa diabaikan,” ujarnya.

Lebih lanjut, Syech Hud Ismail, S.H menegaskan bahwa

_“Polisi harus tegas semata-mata memperbaiki organ penting negara yang dalam hal ini wajib memberikan sanksi kepada setiap oknum yang mungkin terlibat dalam pelanggaran. Jangan biarkan satu atau dua oknum merusak reputasi seluruh institusi,”_ katanya.

Dalam pandangannya, ada perbedaan signifikan antara perbaikan internal dan penilaian keseluruhan terhadap kepolisian.

_“Jika ada satu ruangan yang bermasalah di kantor polisi, tidak bisa seluruh kantor dihukum. Begitu juga dengan kepolisian, jika ada oknum yang salah, perbaiki oknumnya, bukan lembaganya,”_ jelasnya.

Dia juga mengungkapkan keyakinannya bahwa kepolisian memiliki sumber daya dan teknologi yang memadai untuk menyelesaikan kasus ini dengan baik.

_“Kita harus memberikan dukungan moral kepada polisi. Jangan putus asa, proses hukum ini adalah bagian dari pembelajaran menuju sistem hukum yang lebih baik serta harus percaya pada proses hukum dan berharap bahwa hakim, jaksa, dan polisi akan bekerja sesuai dengan aturan. Dengan kesabaran dan dukungan, kita bisa melihat perbaikan yang signifikan di masa depan, mampu menjaga integritas lembaga hukum di Indonesia. Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur – hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati.”_ tuturnya.

 

SYECH HUD ISMAIL, S.H.

Sekretaris DPW Persatuan Advokasi Indonesia(PERSADIN)

Provinsi Lampung

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *