Lampung

Dana Desa: Maut Ataukah Berkah

135
×

Dana Desa: Maut Ataukah Berkah

Sebarkan artikel ini

Tintainformasi.com, Lampung — “Ketika uang publik dikelola tanpa transparansi dan akuntabilitas, ia akan menjadi racun yang menggerogoti fondasi pembangunan,” demikian ungkap Robert Klitgaard, pakar tata kelola pemerintahan dari Claremont Graduate University, dalam bukunya “Controlling Corruption” (1988). Pernyataan ini menjadi cermin yang menohok realitas pengelolaan dana desa di Indonesia, di mana setiap rupiah yang diselewengkan adalah nyawa yang dirampas dari masa depan desa.

Dana desa, yang sejatinya menjadi urat nadi pembangunan pedesaan, kini terancam menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan kemakmuran, namun di sisi lain, dapat menjadi maut bagi desa-desa yang pengelolaannya tidak transparan.

Scroll Untuk Baca Artikel
Tour Travel
ADVERTISEMENT

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2023 tercatat 187 kasus penyalahgunaan dana desa dengan total kerugian negara mencapai Rp 162,2 miliar. Angka yang mengkhawatirkan ini menunjukkan betapa penyakit korupsi telah mengakar hingga level pemerintahan terkecil.

Memang, jika dibandingkan dengan jumlah desa yang secara keseluruhan mencapai 75.265 desa di seluruh Indonesia, jumlah kasus korupsi yang berhasil terpantau tergolong kecil. Namun penting ditekankan bahwa hal ini bisa jadi merupakan fenomena gunung es, di mana patut diduga kasus-kasus lain di sektor desa belum terungkap oleh penegak hukum.

Fenomena ini ibarat kanker yang perlahan menggerogoti tubuh pembangunan desa. Setiap rupiah yang diselewengkan adalah mimpi yang dirampas dari anak-anak desa, setiap anggaran yang disalahgunakan adalah jalan yang tak pernah terbangun, sekolah yang tak pernah berdiri, atau puskesmas yang tak pernah melayani. Ironis memang, ketika instrumen yang seharusnya menjadi berkah justru bermetamorfosis menjadi kutukan.

Yang lebih memprihatinkan, penyalahgunaan dana desa telah menciptakan efek domino yang merusak tatanan sosial masyarakat desa. Ketika kepercayaan masyarakat terhadap aparatur desa memudar, partisipasi dalam pembangunan pun menurun.

Penelitian dari Institute of Development Studies menunjukkan bahwa desa-desa dengan kasus korupsi dana desa mengalami penurunan partisipasi masyarakat dalam musyawarah desa hingga 45 persen. Ini menciptakan lingkaran setan: rendahnya partisipasi masyarakat membuka celah lebih lebar bagi praktik-praktik koruptif.

Lebih jauh lagi, penyalahgunaan dana desa telah menciptakan kesenjangan baru dalam masyarakat. Di beberapa desa, muncul kelompok-kelompok elite baru yang memperkaya diri dari proyek-proyek fiktif, sementara mayoritas warga tetap hidup dalam kemiskinan. Fenomena ini tidak hanya mencederai keadilan sosial, tetapi juga mengancam kohesi masyarakat desa yang selama ini dikenal dengan semangat gotong-royongnya.

Mari kita berkaca pada kesuksesan Korea Selatan dalam membangun Saemaul Undong, gerakan pembangunan pedesaan yang berhasil mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Program yang dimulai pada 1970-an ini mengedepankan prinsip transparansi, partisipasi masyarakat, dan akuntabilitas. Hasilnya? Dalam waktu satu dekade, pendapatan per kapita penduduk desa Korea Selatan meningkat hampir lima kali lipat.

Vietnam juga menunjukkan prestasi serupa melalui program “New Rural Development” yang diluncurkan pada 2010. Dengan pengelolaan yang ketat dan partisipasi masyarakat yang tinggi, Vietnam berhasil mengurangi tingkat kemiskinan pedesaan dari 17,4 persen pada 2012 menjadi 8,2 persen pada 2020. Keberhasilan ini tak lepas dari sistem pengawasan berlapis yang melibatkan masyarakat sebagai pengawas utama.

Lantas, mengapa di Indonesia dana desa seolah menjadi pisau bermata dua? Jawabannya terletak pada lemahnya sistem pengawasan dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengawal penggunaan dana desa. Ketika transparansi hanya menjadi slogan, ketika akuntabilitas hanya ada di atas kertas, maka dana desa akan menjadi magnet bagi para predator yang haus akan kekayaan negara.

Kita perlu memahami bahwa dana desa bukan sekadar angka dalam laporan keuangan. Ia adalah tanggungjawab moral, amanah yang harus diemban dengan penuh kehati-hatian. Setiap rupiah yang mengalir ke desa membawa harapan masyarakat akan kehidupan yang lebih baik. Namun, ketika dana ini jatuh ke tangan yang salah, ia tak ubahnya racun yang mematikan.

Untuk mencegah dana desa menjadi maut bagi pembangunan, diperlukan revolusi dalam tata kelola keuangan desa. Pertama, penguatan sistem pengawasan berbasis teknologi yang memungkinkan masyarakat memantau penggunaan dana desa secara real-time. Kedua, pemberdayaan masyarakat desa melalui pendidikan literasi keuangan dan tata kelola pemerintahan. Ketiga, penerapan sanksi yang tegas dan membuat jera bagi pelaku penyelewengan.

Lebih dari itu, kita perlu mengembalikan esensi dana desa sebagai instrumen pemberdayaan, bukan alat untuk memperkaya diri. Setiap kepala desa dan perangkatnya harus memahami bahwa mereka adalah penjaga amanah, bukan penguasa dana. Ketika prinsip ini tertanam kuat, maka dana desa akan menjadi berkah, bukan maut.

Dana desa adalah test case bagi kemampuan kita mengelola keuangan publik di level grassroot. Kegagalan dalam ujian ini akan menjadi preseden buruk bagi masa depan desentralisasi fiskal di Indonesia. Sudah saatnya kita membangun sistem yang tidak hanya mengandalkan kejujuran individu, tetapi juga didukung oleh mekanisme kontrol yang kuat dan partisipasi masyarakat yang aktif.

Maut atau berkah, pilihan ada di tangan kita. Akankah dana desa menjadi pupuk yang menyuburkan pembangunan atau justru menjadi racun yang mematikan? Jawabannya bergantung pada komitmen kita bersama untuk memastikan setiap rupiah dana desa sampai ke tujuannya yang sejati: membangun desa yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat.

Bandar Lampung, 06 Desember 2024.

Ditulis oleh: Pinnur Selalau.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *