Tintainformasi.com, Lampung — Ada kabar serius yang layak menjadi perhatian bagi para petinggi PTPN 1 Regional 7. Karena selama belasan tahun ini dianggap menyepelekan urusan kerja sama dengan Koperasi Serba Usaha Sejahtera Bersama (KSUSB), para pemilik tanah di Rawapitu, Kabupaten Tulang Bawang (Tuba), bakal melapor ke Menteri BUMN, Erick Tohir.
Untuk diketahui, selama 15 tahun ini para pemilik tanah di kawasan Rawapitu, Tuba, melalui Koperasi SUSB bermitra atau menjalin kerja sama dengan PTPN 1 Regional 7 –dulu namanya PTPN 7 Lampung- dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit melalui program revitalisasi perkebunan dengan pola satu manajemen.
Kemitraan tersebut disahkan melalui surat perjanjian kerja sama dengan Nomor: 7.13/KTR/02/2010 dan No.060/518/KSU-SB/VI/2010 tanggal 28 Juni 2010. Namun kini, kebersamaan tersebut disoal oleh pihak Koperasi SUSB.
Apa yang dipersoalkan KSUSB hingga akan melapor ke Menteri BUMN? Penasihat/Kuasa Hukum Koperasi SUSB, Gindha Ansori Wayka, Selasa (14/1/2025) siang, buka-bukaan mengenai hal-hal yang disoal oleh kliennya.
“Kerja sama ini sudah berlangsung selama 15 tahun, sejak tahun 2010, dan hingga saat ini belum menghasilkan manfaat apapun bagi pemilik tanah yang tergabung dalam Koperasi SUSB,” ungkap Gindha.
Dijelaskan, selama 15 tahun membangun kebun kerja sama dengan PTPN 1 Regional 7, jangankan menambah pemasukan untuk anggota koperasi yang notabene pemilik tanah, mereka malah harus menanggung utang yang jumlahnya fantastis yakni mencapai Rp 53 miliar.
Terkait kondisi mengenaskan kliennya itu, Gindha mengaku telah menyurati pihak PTPN 1 Regional 7 untuk bersama-sama membahas permohonan swastanisasi dan perhitungan kewajiban, sebanyak tiga kali. Yaitu surat Nomor: 071/B/GAW-Law Office/V/2024, tanggal 20 Mei 2024, dan Surat Nomor: 082/B/GAW-Law Office/VI/2024, tanggal 10 Juni 2024, serta Surat Nomor: 096/B/GAW-Law Office/VIII/2024, tanggal 13 Agustus 2024.
Hasilnya? “Sudah tiga kali kami surati, namun hingga saat ini belum direspon dan belum ditindaklanjuti oleh Pihak PTPN 1 Regional 7. Sehingga kami menilai, persoalan KSUSB itu perlu disampaikan hingga ke Menteri BUMN di Jakarta. Dalam waktu dekat, kami akan ke Kementerian BUMN,” tambah praktisi hukum senior dan akademisi salah satu perguruan tinggi swasta ternama di Lampung ini.
Ditanya isi surat-surat yang dikirim ke PTPN 1 Regional 7, Gindha Ansori menjelaskan, ketiga surat itu intinya adalah permohonan pengakhiran kerja sama pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan terlebih dahulu memperhitungkan jumlah utang yang nantinya akan dibebankan kepada pihak swasta penyelesaiannya jika permohonan ini disetujui untuk ditalangi.
“Kita minta kerja sama antara PTPN 1 Regional 7 dengan KSUSB ini dilakukan take over kepada pihak swasta dan minta rasionalisasi jumlah kewajiban atau utang terlebih dahulu, agar tidak ada kerugian yang ditanggung oleh PTPN 1 Regional 7 dan tidak memberatkan petani atau bahkan jika memungkinkan dapat dilakukan penghapusan utang,” papar Lawyer jebolan Universitas Lampung ini.
Mengenai besarnya utang KSUSB hingga Rp 53 miliar, Gindha menjelaskan, jumlah utang puluhan miliar tersebut disebabkan oleh biaya untuk membangun kebun, selain itu juga sempat bermasalah karena beberapa tahun kebun sawit tersebut dikuasai oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, sehingga kebun sawit tidak dirawat dan buahnya dipanen secara melawan hukum oleh oknum.
“Sumber pemasukan itu dari buah sawitnya, bagaimana bisa mencicil utang jika kebunnya tidak dirawat karena dikuasai oleh oknum, dan baru pada tahun 2021 kebun tersebut diambilalih oleh pengurus KSUSB,” ucapnya.
Ditambahkan Gindha, selain dikuasai oknum, selama ini biaya perawatan kebun agak tersendat, kondisi ini diperparah lagi dengan sistem holding company, dimana pihak PTPN 1 Regional 7 yang ada di Lampung harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan PTPN Induknya yang ada di Sumatera Utara.
“Dulu kebutuhan yang langsung ditangani oleh PTPN 1 Regional 7 saja masih tersendat dan terkendala, apalagi sekarang harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan PTPN Induk yang ada di Sumatera Utara. Alhasil, pemenuhan kebutuhan koperasi terutama biaya operasional lapangan dan pemeliharaan kebun menjadi tertunda dalam waktu yang bertambah lama, yang dapat menyebabkan kerja sama ini gagal,” tegasnya.
(Team.red)