Tintainformasi.com
Kayuagung Sumatera Selatan
Bupati Ogan Komering Ilir (OKI), Muchendi Mahzareki, kembali menjadi sorotan setelah munculnya undangan acara buka puasa bersama (bukber) yang dinilai eksklusif untuk tim sukses (timses). Acara yang digelar pada Minggu kemarin, 9 Maret 2025, disebut sebagai “Silaturahmi Tim Pemenangan Pilkada bersama Bupati dan Wakil Bupati OKI.” Namun, tak lama setelah undangan itu beredar, Pemerintah Daerah (Pemda) OKI buru-buru mengeluarkan pernyataan resmi yang menyebut informasi tersebut sebagai hoax.
Pernyataan ini disampaikan melalui surat yang ditandatangani oleh Sekretaris Daerah OKI, Asmar Wijaya. Meski begitu, polemik tak mereda, justru semakin banyak pihak mempertanyakan transparansi dan netralitas Pemda dalam kegiatan pemerintahan.
Publik Bertanya: Bukber untuk Semua atau Hanya untuk Timses?
Masyarakat mulai bertanya-tanya, mengapa hanya kelompok tertentu yang bisa mengadakan bukber dengan Bupati dan Wakil Bupati OKI?
Salah satu kritik datang dari Sekretaris Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) OKI, Agung Jepriansyah yang mempertanyakan alasan mengapa hanya PWI yang bisa menggelar acara tersebut, sementara organisasi lain tidak mendapat kesempatan yang sama.
“Izin Pak Bupati, nak nanyo, ini kenapo PWI be yang ngadoke acara bukber dengan Pak Bupati/Wabup OKI, kenapo organisasi yang lain idak biso ngadake? Apo jangan-jangan kegiatan bukber ini sudah mendapat fasilitas dari pihak Pemda seperti kantor atau perlengkapan lain? mohon pencerahannya, terimakasih,” ujarnya mengkonfirmasi langsung dengan Bupati OKI.
Namun sayangnya, sejak dikonfirmasi terhitung Rabu, 12 Maret 2025 tak mendapat sepatah kata dan kejelasan apapun dari Bupati OKI hingga berita diterbitkan.
Pemerhati hukum dan lingkungan Nasional, Syarf Al Dhin, menjelaskan;
Jika benar ada penggunaan fasilitas negara dalam kegiatan yang bersifat eksklusif ini, maka hal tersebut berpotensi menjadi pelanggaran hukum, khususnya terkait dengan aturan tentang gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang.
Hukum Bicara: Dugaan Gratifikasi dan Penyalahgunaan Wewenang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, gratifikasi diartikan sebagai pemberian dalam bentuk apa pun yang berkaitan dengan jabatan seseorang dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Menurut Pasal 12B Ayat (2), pejabat yang menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dapat dijerat dengan hukuman:
– Minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun penjara,
– Denda minimal Rp200 juta hingga maksimal Rp1 miliar.
Selain itu, dalam Pasal 12C, pejabat yang menerima gratifikasi wajib melaporkan kepada KPK dalam waktu 30 hari kerja. Jika tidak, maka gratifikasi tersebut dianggap sebagai suap atau tindak pidana korupsi.
Tak hanya itu, jika ada penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kelompok tertentu, hal ini juga bisa melanggar aturan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dan Undang-Undang ITE.
Meski Pemda telah mengklaim bahwa undangan tersebut adalah hoaks, masyarakat masih menunggu klarifikasi lebih lanjut. Sejumlah pertanyaan masih mengemuka:
– Benarkah fasilitas Pemda digunakan dalam acara ini?
– Jika acara ini tidak resmi, mengapa ada undangan yang beredar dengan format resmi?
– Apakah Pemda memang memberikan perlakuan khusus kepada kelompok tertentu?
Jika tuduhan ini terbukti benar, maka publik berhak menuntut transparansi dan keadilan dalam penggunaan fasilitas negara.
Sebagai kepala daerah, Bupati seharusnya menjadi pemimpin untuk seluruh masyarakat OKI, bukan hanya untuk tim sukses atau kelompok tertentu. (Red)
(Bravo Transparansi! Bravo Keadilan untuk Masyarakat OKI!)