Lampung tengah, Tintainformasi.com — Seorang guru Bahasa Inggris yang juga menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan di salah satu SMA Negeri di Kecamatan Sendang Agung, Lampung Tengah, menjadi sorotan setelah diduga memaksa orang tua seorang siswa menandatangani surat pemecatan secara sepihak.
Peristiwa ini bermula saat seorang siswa berinisial BF diduga ditemukan membawa barang yang menyerupai alat hisap narkoba di dalam tas sekolahnya. Tas tersebut disita oleh pihak sekolah saat siswa meninggalkan kelas untuk membayar uang sekolah. Wakil kepala sekolah berinisial W yang membawa tas tersebut ke ruang guru.
Keesokan harinya, orang tua BF, yakni Marwati, dipanggil ke sekolah dan diminta untuk menandatangani surat yang diduga merupakan surat pemecatan anaknya dari sekolah. Namun, Marwati menolak dan memohon agar anaknya tidak dikeluarkan, mengingat BF saat ini duduk di kelas XI dan tengah menghadapi masa akhir semester yang menentukan kenaikan ke kelas XII.
Dalam keterangannya kepada media, Marwati mengungkapkan bahwa ia merasa ditekan untuk menyetujui pemecatan tersebut. “Saya disuruh datang jam dua siang, padahal saya sedang menjemur padi. Tapi karena ditekan, saya tinggalkan pekerjaan saya dan datang ke sekolah. Di sana saya ditunjukkan botol berisi pipet dan bekas lintingan rokok, yang disebut ditemukan dalam tas anak saya,” jelasnya.
Ia menuturkan, pihak sekolah yang diwakili oleh guru W bersikeras agar dirinya menandatangani surat pemecatan. Namun ia tetap menolak karena tidak siap menerima keputusan tersebut. “Saya mohon-mohon agar anak saya tidak dikeluarkan, tapi tetap dipaksa untuk tanda tangan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Marwati mengaku mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari guru bersangkutan. “Ketika saya coba menghubungi anak saya di Bandar Lampung untuk meminta pertimbangan, ibu W berkata, ‘Ibu itu ribet, hal kayak gitu aja sampai telepon anak,’” ungkapnya dengan nada kecewa.
Sementara itu, BF mengaku tak tahu-menahu soal keberadaan barang yang dituduhkan. Ia hanya mengakui bahwa tas yang ditunjukkan memang miliknya, namun tidak mengetahui secara pasti apakah barang tersebut berasal dari dalam tasnya.
“Botol itu sudah berada di atas meja saat saya dipanggil ke ruang TU. Saya tidak tahu kapan dan bagaimana barang itu masuk ke tas saya,” terang BF.
Akibat kejadian ini, BF telah hampir satu minggu tidak mengikuti pelajaran di sekolah. Ia merasa dirugikan, baik secara akademis maupun psikologis. Selain tertinggal materi pelajaran, ia juga merasa namanya tercemar di mata teman-teman sekolah.
BF juga menyayangkan sikap guru W yang dianggap melampaui kewenangannya sebagai wakil kepala sekolah. “Seolah-olah beliau lebih berkuasa dari kepala sekolah, bahkan seperti kepala dinas pendidikan,” ujar BF.
Kasus ini menuai perhatian publik, terlebih karena berdekatan dengan momentum peringatan Hari Kartini, yang seharusnya menjadi refleksi peran dan sikap keibuan dalam menyikapi persoalan pendidikan. Diharapkan pihak sekolah dan dinas terkait dapat menindaklanjuti laporan ini secara adil dan proporsional, agar tidak mencederai dunia pendidikan yang seharusnya menjunjung tinggi asas pembinaan, bukan pemecatan semena-mena.