BERITA

Pemalsuan Data Kelahiran untuk Rekrutmen ASN Terancam Hukuman 8 Tahun Penjara

Icon Tintainformasi.com
2223
×

Pemalsuan Data Kelahiran untuk Rekrutmen ASN Terancam Hukuman 8 Tahun Penjara

Sebarkan artikel ini
dfhgtn4whn e6uh356 ujh5jh5

Bandar Lampung, Tintainformasi.com — Pemerintah dapat menjerat pelaku pemalsuan data kelahiran dalam dokumen kependudukan untuk memenuhi syarat seleksi Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan pidana berat. Sarhani, praktisi hukum asal Lampung, secara tegas menyatakan bahwa manipulasi data dalam administrasi negara—dalam bentuk apa pun—termasuk tindak pidana yang berisiko hukuman hingga delapan tahun penjara. Lebih lanjut, ia menegaskan, “Siapa pun yang sengaja memalsukan dokumen resmi seperti KTP atau akta lahir untuk kepentingan administratif telah melakukan kejahatan. Pasal 263 dan 264 KUHP secara eksplisit mengatur hal ini, termasuk ancaman hukuman maksimal delapan tahun,” ujarnya saat dikonfirmasi pada Senin (27/5).

Tak hanya itu, Sarhani menambahkan bahwa manipulasi data diri untuk menyesuaikan batas usia dalam rekrutmen ASN juga melanggar Pasal 266 KUHP serta Pasal 93 dan 94 UU Administrasi Kependudukan Nomor 24 Tahun 2013. Terlebih lagi, ia menekankan, “Jika pemalsuan ini bertujuan memperoleh jabatan atau keuntungan dari negara, tindakan tersebut bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan kejahatan pidana murni,” tegasnya.

Scroll Untuk Baca Artikel
ADVERTISEMENT

Di sisi lain, pernyataan Sarhani muncul sebagai respons atas kasus dugaan pemalsuan identitas yang melibatkan Eka Afriana, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bandar Lampung. Perlu diketahui, Eka merupakan saudari kembar Walikota Bandar Lampung, Eva Dwiana. Kasus ini mencuat setelah terungkap perbedaan data tahun kelahiran antara keduanya. Eva tercatat lahir pada 25 April 1970, sedangkan dokumen kependudukan Eka menyebutkan tahun 1973. Bahkan, sebut saja Joni sumber dekat keluarga mengungkapkan bahwa adik mereka, Ernita, justru terdaftar lahir pada 1972—satu tahun lebih tua dari Eka. “Ini jelas anomali. Dua saudara kembar seharusnya memiliki tahun lahir sama,” ujar sumber tersebut.

Lebih detail, Joni menduga perubahan tahun lahir Eka dilakukan pada 2008 saat ia mendaftar sebagai ASN dari jalur honorer. Saat itu, usianya telah mencapai 38 tahun, melebihi batas maksimal 35 tahun. “Dugaan kuat, tahun lahir sengaja diubah menjadi 1973 agar ia memenuhi syarat usia,” papar sumber.

Menanggapi hal ini, Eka Afriana mengakui adanya perubahan data kelahiran dalam dokumennya. Namun, ia membantah kaitan perubahan tersebut dengan proses rekrutmen ASN. Menurutnya, perubahan terjadi jauh sebelum pengangkatannya sebagai PNS dan dilatarbelakangi alasan kesehatan serta kepercayaan orang tua. “Saya sering sakit dan mengalami gangguan spiritual semasa kecil, sehingga orang tua memutuskan mengubah tahun lahir,” jelas Eka.

Meski demikian, Sarhani menegaskan bahwa alasan personal atau spiritual tidak dapat menghilangkan unsur pidana jika dokumen palsu tersebut digunakan untuk kepentingan negara. Hukum tidak mengenal kompromi dengan alasan mistis. Fokusnya adalah apakah data palsu itu dimanfaatkan untuk mendapatkan posisi ASN. Jika iya, maka pelaku telah memenuhi unsur pidana,” tegasnya.

Sampai saat ini, Pemerintah Kota Bandar Lampung dan inspektorat daerah belum memberikan pernyataan resmi terkait rencana investigasi lebih lanjut. Di tengah vakumnya respons otoritas, kasus ini terus memantik pertanyaan publik tentang integritas sistem rekrutmen ASN dan penegakan hukum yang berkeadilan.

Sarhani mengingatkan, Masyarakat harus memahami bahwa kebohongan administratif—sekecil apa pun—akan berujung pada konsekuensi hukum yang serius. (NdH)




Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Thanks!