Bekasi, Tintainformasi.com —
Kasus alot, kurang lebih 3 lamanya terdakwa di vonis. Perasaan kecewa dan terluka mendalam dirasakan oleh korban dan keluarga korban kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, menyusul putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Bekasi terhadap terdakwa berinisial Bhuba yang divonis 11 tahun penjara, denda Rp1 miliar, dan subsider 3 bulan kurungan atas perbuatannya yang bejat.
Putusan tersebut bahkan tidak jauh berbeda dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang hanya menuntut 10 tahun penjara, denda Rp100 juta, dan subsider 1 bulan, meski kejahatan yang dilakukan tergolong luar biasa keji dan berulang.
“Bagaimana kami tidak kecewa? Perbuatan dilakukan tiga kali, korban masih anak di bawah umur, dan kini mengandung, melahirkan, hingga merawat sendiri anak dari hasil perkosaan. Pelaku tidak bertanggung jawab sama sekali. Keluarga korban malah dikucilkan, seolah kasus ini bukan urusan masyarakat,” ujar Aslam Syah Muda, S.H.I., CT.NNLP, penasihat hukum korban.
Puncak kekecewaan juga dirasakan karena proses hukum sejak awal terkesan tidak berpihak kepada korban. Terdakwa sempat buron (DPO) PPA Polres Metro Bekasi, dan ketika mediasi diminta oleh pihak keluarga pelaku, mereka sendiri yang mengingkarinya. Ironisnya, setelah kasus dilimpahkan ke kejaksaan, JPU tidak menunjukkan sikap kooperatif.
“Kami tidak pernah mendapatkan update informasi tahapan persidangan. Bahkan, nomor telepon orang tua korban diblokir oleh pihak JPU. Ini bentuk pengabaian terhadap korban,” lanjut Aslam. “Padahal cukup dengan pesan singkat saja, agar korban dan keluarga tidak merasa ditinggalkan oleh negara.”
Sidang yang sedianya dijadwalkan 1 Juli 2025, juga sempat tertunda tanpa alasan yang memadai dan baru dibacakan 22 Juli 2025. Semua ini memperparah luka yang sudah dalam bagi korban dan keluarganya.
Padahal dalam Pasal 82 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, ditegaskan:
“Setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan melakukan perbuatan cabul terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak **Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).”
Jika tindak pidana dilakukan berulang kali, menyebabkan kehamilan, dan pelaku tidak menunjukkan penyesalan, maka pidana seharusnya mendekati maksimum, termasuk tambahan pidana kebiri kimia dan publikasi identitas sebagaimana diatur dalam Pasal 82A UU Perlindungan Anak.
“Ini bukan sekadar hukum formal. Ini tentang nyawa dan masa depan anak-anak Indonesia. Jika dibiarkan ringan begini, pelaku lain akan merasa bisa lolos. Ini bukan sekadar vonis ringan, tapi pesan berbahaya bagi pelaku dan korban di luar sana,” tegas PSF. Parulian Hutahaean, Ketua Advokasi Tim Kuasa Hukum Korban.
Tim kuasa hukum korban menyatakan akan mengajukan gugatan perdata ganti rugi immateriil atas penderitaan dan beban luar biasa yang ditanggung oleh korban dan keluarganya. Nilai gugatan dapat mencapai Rp5 hingga 10 miliar, yang mencakup:
- Trauma psikologis
- Hilangnya masa depan pendidikan
- Beban merawat anak dari hasil perkosaan
- Stigma sosial dan pengucilan lingkungan
- Ketidakadilan struktural sepanjang proses hukum
“Kami akan ajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Kabupaten Bekasi. Kami ingin membuktikan bahwa meski keadilan pidana gagal memenuhi harapan, jalur perdata akan kami gunakan sebagai bentuk perlawanan dan pemulihan,” pungkas PSF. Parulian Hutahaean.
Seruan untuk Negara dan Masyarakat
Kasus ini adalah alarm bagi semua pihak. Negara harus hadir bukan hanya menghukum pelaku, tapi memulihkan korban dan memperbaiki sistem. Penanganan kasus kekerasan seksual anak tidak boleh berhenti pada angka hukuman. Tim kuasa hukum meminta untuk;
- Evaluasi mendalam terhadap sikap JPU yang abai pada komunikasi dengan keluarga korban
- LPSK dan Dinas PPPA diminta segera memberikan dukungan pemulihan psikologis dan sosial kepada korban
Masyarakat untuk tidak menyalahkan korban, dan sebaliknya menjadi pelindung bagi anak-anak di sekitarnya
“Hari ini korban kami menggendong anak yang lahir dari kejahatan. Tapi negara seolah menutup mata. Bila negara diam, maka biar gugatan ini yang bersuara.”
— Aslam Syah Muda, S.H.I., CT.NNLP
( Red )