Jakarta

Menteri PPPA Ajak Korban KDRT untuk Dare to Speak Up

114
×

Menteri PPPA Ajak Korban KDRT untuk Dare to Speak Up

Sebarkan artikel ini

TINTAINFORMASI.COM, JAKARTA – Kampanye Penghapusan KDRT dipimpin langsung oleh Menteri PPPA berlangsung meriah dan penuh makna. Menteri PPPA secara aktif mendeklarasikan Komitment Pemerintah dalam Penghapusan KDRT. Kampanye massif Penghapusan KDRT ini dihadiri oleh banyak stakeholders seperti Komnas Perempuan, Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), Kongres Wanita Indonesia (KOWANI), Tokoh Agama dan perkumpulan korban. Bersama menggaungkan komitmen untuk melindungi perempuan dan anak dari kekerasan.

“Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sudah menjadi dasar hukum untuk memberikan perlindungan terhadap korban KDRT dan memberikan sanksi bagi para pelaku. Kita telah melihat perubahan yang signifikan dalam cara kita memandang dan menangani masalah ini.” kata Menteri PPPA Minggu, 15 Oktober 2023 baru-baru ini.

Scroll Untuk Baca Artikel
Tour Travel
ADVERTISEMENT

“Kita telah menyaksikan peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengakhiri kekerasan dalam rumah tangga, serta menghapus stigma yang sering melingkupi korban.” tambah Menteri PPPA.

“Selain itu, layanan pendukung dan perlindungan telah berkembang pesat untuk membantu korban kekerasan, termasuk pusat-pusat perlindungan dan jalur darurat. Pekerjaan kita belum selesai karena angka kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi,” jelas Menteri PPPA.

“Pekerjaan kita belum selesai karena angka kekerasan dalam rumah tangga masih tinggi,” kata dia lagi.

“Kampanye yang kita laksanakan hari ini adalah upaya terus-menerus dalam mendorong komitmen seluruh pihak untuk melakukan aksi-aksi nyata dalam upaya menghapuskan KDRT dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya kepada perempuan dan anak. Sejak tahun 2021 yang lalu, kami terus menyuarakan pentingnya para korban kekerasan untuk berani bersuara melalui kampanye Dare to Speak Up,” ungkap Menteri PPPA.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani juga menyampaikan “Tingginya angka KDRT sangat disayangkan karena selama ini rumah dianggap sebagai tempat yang paling aman bagi perempuan. Bahkan ketika korban yang sebagian besar perempuan melaporkan kasus kekerasan yang dialaminya mereka sering kali diminta berdamai untuk menutupi aib. Kalau kondisi seperti ini dibiarkan kekerasan itu akan terus berulang, artinya kita membiarkan hidup seseorang dalam penyiksaan. Maka dari itu, mari kita sama-sama mengedukasikan pentingnya UU PKDRT untuk melindungi korban.”

Ketua Umum Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), Nita Yudi mendorong perempuan dapat berdaya secara ekonomi untuk meminimalisir terjadinya KDRT. Dengan berdaya secara ekonomi contohnya menjadi pengusaha UMKM, perempuan bisa membantu keuangan keluarga dan mensejahterakan kehidupannya.

Dari perspektif agama, Tokoh Agama, Alimatul Qibtiyah menyampaikan bahwa melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga bukanlah aib, melainkan mengupayakan keadilan bagi korban.

“Tujuan berkeluarga adalah untuk memberikan ketenangan dan kebahagiaan bagi seluruh anggotanya. Kalau sampai terjadi KDRT itu artinya menyalahkan tujuan dibentuknya keluarga. Jika seseorang korban melapor dia mengalami KDRT maka kita jangan menyalahkannya karena dirasa tidak kuat imannya. Itu artinya mereka sedang berusaha mencari keadilan, karena semua orang berhak mendapat ketenangan dan kebahagiaan,” ujar Alimatul.

Dari perspektif korban, Perkumpulan Pejuang Anak Indonesia juga hadir mendukung penghapusan KDRT untuk mensuarakan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami mereka. Kekerasan rumah tangga tidak hanya kekerasan fisik, namun juga tekanan psikis hingga kriminalisasi.

Angelia Susanto selaku korban mengutarakan bagaimana sulitnya membuktikan KDRT psikis, karena ketidaktahuan korban, persepsi masyarakat bahwa ini masalah domestik, dan tidak adanya sistem support publik. Mengalami KDRT psikis & fisik sejak tahun 1995 dan baru berani bertindak pada 2016, KDRT psikis masih terus terjadi dalam bentuk pemerasan, pelaporan dan teror mental, yang berpuncak pada penculikan anak satu2nya di tahun 2020, bahkan dengan dibantu oknum aparat. Setelah 19 tahun memiliki UU KDRT, kapankah kiranya perempuan dan anak Indonesia akan sungguh terlindungi dari KDRT ?

Dulu sekitar 2011, korban lainnya, Sheila, pernah melaporkan kasus kdrt ke kepolisian, namun sayangnya laporan tersebut dicabut karena mendapat tekanan dan intimidasi. Tidak hanya fisik dan psikis, anaknya pun ikut menjadi korban dimana kedua putranya M dan W diambil dan disembunyikan oleh mantan suaminya selama kurang lebih 12,5 tahun lamanya.

“Sebagian besar para korban KDRT kebanyakan tidak berani untuk speak up menyuarakan keadilan karena paradigma di masyarakat yang masih menganggap bahwa kekerasan seperti ini masih dianggap wajar dan urusan domestik yang tidak perlu dibesar-besarkan. Belum lagi korban juga banyak yang mendapat ancaman yang menimbulkan ketakutan/trauma dari pihak lain.” Jelas Sheila

“Namun saat ini saya melihat sudah banyak Wanita yang sadar dan berani untuk menyuarakan kekerasan yang dialami dalam berumahtangga.” tambahnya.

Karena itu Sheila berharap bahwa negara ini memberi perlindungan hukum tidak hanya dari UU yang tegas dan efektif namun juga dapat diimplementasikan dengan baik dan tegas oleh aparat hukum. “Aparat hukum harus mampu melindungi sebelum adanya korban semakin banyak atau perlakuan yang semakin parah hingga mengakibatkan penghilangan nyawa. Ketegasan apparat hukum dalam menindaki kasus KDRT itu mampu secara langsung melindungi jiwa dan mental perempuan dan anak-anak sehingga mampu mewujudkan negara Indonesia yang lebih maju dan berdaya”

Shelvia selaku korban juga sempat menyampaikan apa yang menimpa pada dirinya, dimana ia sempat mengalami KDRT fisik dan psikis dan sudah melaporkan ke Polda Kepulauan Riau. Laporan KDRT nya sudah ditangani dengan baik oleh unit PPA. Shelvia dipisahkan paksa dari anaknya yang saat itu masih berusia 1 tahun 4 bulan yang membuatnya mengalami gangguan psikis dan penguasaan anaknya sudah berlangsung lebih dari 1 tahun. Shelvia juga merasa dikriminalisasi dengan lebih dari 8 laporan polisi yang dilaporkan oleh mantan suami. Shelvia selaku korban malah dituduh dan dilaporkan melakukan KDRT psikis dan diproses oleh Polresta Barelang Kepulauan Riau.

“Saya selaku korban malah dilaporkan balik oleh mantan suami dengan tuduhan KDRT psikis di Polresta Barelang dan sudah naik statusnya menjadi sidik oleh penyidik Polresta Barelang.” tekannya.

“Sudah saatnya Wanita Indonesia melawan segala bentuk kekerasan dan melindungi anak. Saya berharap agar semua Wanita Indonesia mampu berdiri tegak untuk memperjuangkan keadilan demi perlindungan atas diri nya dan anak. Di sini saya bersuara agar para penegak hukum di Indonesia mampu memproses laporan KDRT secara objektif, transparan dan tegak lurus. Bukan malah mendukung tindakan kriminalisasi para pelaku KDRT.”

Tidak hanya Wanita, terdapat juga Pria yang menyuarakan penghapusan KDRT. Menurut nya, jangan adalagi kekerasan baik itu ke Perempuan ataupun Lelaki atau bahkan melakukan kekerasan di area domestic di depan anak. Anak perlu dilindungi untuk tetap mendapatkan pemenuhan hak-haknya. Pelaku KDRT tidak hanya selalu pria namun juga bisa Wanita dan orang-orang di dalam rumah seperti mertua. Seperti apa yang dilaporkan salah satu korban pria yang mendapatkan kekerasan fisik dari mertua hingga berujung pelaporan di Polsek Sukmajaya, Polrestro Depok dengan pasal 351.

Melalui momentum ini, Menteri PPPA kembali mengajak seluruh masyarakat untuk berani bersuara dan mengharapkan pihak sekitar seperti keluarga, tetangga, teman dan masyakarat sekitar yang mengetahui adanya tindakan kekerasan untuk ikut andil melapor. KemenPPPA menyediakan saluran pengaduan kekerasaan pada Wanita dan anak di hotline SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) 129 atau melalui Whatsapp di 08111 129 129. (*)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *