TINTAINFORMASI.COM, LAMPUNG UTARA – Tahun politik sudah digendangkan. Para wakil rakyat yang kini masih duduk sebagai anggota DPRD Lampung Utara mulai sibuk mengenalkan diri kembali kepada pemilik hak suara. Namun jangan lupa, masih ada masalah yang melilit mereka terkait pengadaan pakaian pada APBD 2022 lalu.
Sebagaimana diketahui, pada APBD Lampura tahun anggaran 2022, Sekretariat DPRD merealisasikan anggaran belanja barang sebesar Rp 5.426.346.567, dan belanja jasa Rp 10.332.944.514. Di antara anggaran tersebut, sebanyak Rp 917.490.000-nya dipergunakan untuk pengadaan belanja pakaian dinas dan atribut pimpinan serta anggota Dewan, pakaian sipil harian (PSH), pakaian sipil resmi (PSR), dan pakaian adat daerah.
Untuk pengadaan PSH, PSR, dan pakaian adat daerah, nilai kontrak kepada tiga penyedia jasanya sebesar Rp 590.200.000. Yaitu penjahit U yang menangani 46 set pakaian sipil harian dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 144.900.000, pun pakaian sipil resmi sebanyak 46 stel ditangani penjahit U dengan nilai Rp 174.110.000. Khusus pakaian adat daerah dilaksanakan oleh CV AFG dengan nilai Rp 271.190.000.
Bagaimana realisasinya? Mengutip dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Perwakilan Lampung atas Laporan Keuangan Pemkab Lampura Tahun 2022, Nomor: 30B/LHP/XVIII.BLP/05/2023, tanggal 16 Mei 2023, dinyatakan bahwa terdapat pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai kontrak sebesar Rp 490.340.585. Dengan kata lain, kurang dari Rp 100.000.000 anggaran yang dipergunakan sebagaimana mestinya.
Merunut pada penelusuran BPK, diketahui jika pengadaan pakaian para anggota Dewan yang Terhormat di Lampura ini sarat “permainan”. Pada pengadaan PSH dan PSR misalnya, dari nilai kontrak penjahit U sebesar Rp 319.100.000, yang tidak dapat diyakini keterjadiannya senilai Rp 319.010.000. Artinya, tidak lebih dari Rp 90.000 saja yang diyakini kebenarannya.
Padahal, bila mengacu pada BAST Nomor: 024/BAPHP/12-LU/2022 dan 024/15/BAPHP/12-LU/2022, pekerjaan penjahit U dinyatakan telah dilaksanakan seluruhnya dan lunas dibayar sebesar Rp 319.100.000. Setelah dilakukan pemungutan pajak dan disetorkan ke kas negara sebesar Rp 37.361.532, jumlah riil uang yang diterima penjahit U sebanyak Rp 281.648.468.
Lalu dimana masalahnya? BPK mengurainya sejak awal. Munculnya nama penjahit U sebagai penyedia pakaian bagi anggota DPRD atas rekomendasi pihak ketiga yang tidak bertandatangan di dalam kontrak, yaitu HH. Kabag Umum Sekretariat Dewan (Setwan), A, selaku PPK menyahutinya, dan Kasubag Perlengkapan, DA, melalui stafnya berinisial MARSS, mengoordinasikan pra kontrak pekerjaan.
Walhasil, pekerjaan pengadaan pakaian sipil harian dan sipil resmi untuk 45 anggota DPRD dan satu set lagi untuk Sekretaris DPRD saat itu, AA, tidak dilaksanakan. Mengapa begitu? Menurut As, penjahit U, dikarenakan adanya penolakan dari sebagian besar anggota Dewan.
Bagaimana dengan pembayaran yang sudah diterimanya? As mengaku, menyerahkan seluruh uang atas realisasi SP2D kepada HH. Ia hanya memperoleh Rp 6.500.000. Itu pun diberikan oleh HH sebanyak dua kali, yaitu Rp 4.500.000 pada pemberian pertama, disusul kemudian Rp 2.000.000 pemberian kedua.
Saat diwawancara BPK, Kabag Umum Setwan, A, selaku PPK mengaku tidak mengetahui penunjukan HH sebagai penyedia, karena secara teknis, kegiatan tersebut dilakukan oleh PPTK.
Namun PPTK, LM, juga berkilah. Ia mengaku tidak mengetahui secara teknis baik saat pra kontrak maupun pelaksanaan kontrak, termasuk peran HH sebagai “sang pengatur”.
Bagaimana peran MARSS? Staf di sub bagian perlengkapan ini menjelaskan, pengurusan administrasi kontrak, termasuk memberikan rekomendasi penjahit kepada HH, berdasarkan perintah atasannya, yaitu Kasubag Perlengkapan Setwan, DA.
Sayangnya, sampai dengan pemeriksaan BPK berakhir, DA tidak dapat memberikan keterangan mengenai silang-sengkarut urusan pakaian para Dewan tersebut.
Sejauhmana peran HH dalam program pengadaan pakaian dinas wakil rakyat Lampura itu? Masih menurut temuan BPK, HH mengakui, bahwa sebelum adanya realisasi SP2D dari Sekretariat DPRD, ia telah memberikan sejumlah uang kepada 45 anggota DPRD dan Sekretaris DPRD saat itu sebanyak Rp 178.750.000.
Benarkah anggota DPRD Lampura menerima uang dari HH? Sekretaris DPRD saat itu, AA, membenarkannya. Menurut dia dalam keterangannya kepada tim BPK, 46 orang penerima uang realisasi pengadaan PSH dan PSR terdiri dari 45 anggota Dewan dan dirinya yang waktu itu menjabat Sekretaris DPRD.
Penelusuran BPK menemukan fakta, sebanyak 21 penerima uang dari HH membuat PSH dan PSR sendiri –tidak melalui penjahit U-, lima penerima tidak membuat sama sekali, dan 20 lainnya tidak menjawab permintaan keterangan dari tim BPK.
Hingga waktu pemeriksaan BPK berakhir, 21 penerima yang mengaku membuat PSH dan PSR sendiri, tidak dapat menyerahkan SPJ dan dokumentasi pembuatan 21 stel dari dua jenis pakaian tersebut.
Atas “permainan” di Gedung Dewan Lampura dalam kegiatan belanja pakaian ini, BPK menyimpulkan, sisa uang yang belum dipertanggungjawabkan HH dalam pengadaan PSH dan PSR ini, sebesar Rp 93.398.468.
Bagaimana dengan pengadaan pakaian adat? Ternyata sama saja. HH adalah sosok yang mengatur semuanya. Berkat rekomendasi Kasubag Perlengkapan Setwan, DA, dengan menugaskan stafnya, MARSS sebagai “peluncur.”
Secara resmi, pengadaan 62 stel pakaian adat ini ditangani CV AFG, senilai Rp 271.190.000. Dengan perincian, untuk pakaian adat pria, jas tutup memiliki harga satuan Rp 2.145.000. Dibuat sebanyak 51 pcs sehingga totalnya Rp 109.395.000. Aksesori satuannya seharga Rp 1.970.000, totalnya Rp 100.470.000, dan rantai jam dengan harga satuan Rp 275.000, untuk 51 unit menjadi Rp 14.025.000.
Sementara untuk 11 pakaian adat wanita, baju kebaya satuannya Rp 1.850.000, sehingga nilainya menjadi Rp 20.350.000, dan aksesori dengan harga satuan Rp 2.450.000 menjadi Rp 26.950.000. Total keseluruhan anggaran mencapai Rp 271.190.000.
Dan berdasarkan BAST Nomor: 024/279/BAPHP/12-LU/2022 pekerjaan pengadaan pakaian adat sebanyak 62 stel tersebut telah selesai dan dibayar lunas sebanyak Rp 271.190.000.
Sesuaikah kenyataan dengan anggaran yang digelontorkan? Ternyata, jauh panggang dari api. HH sebagai “sang pengatur” mengaku menunjuk dua orang penjahit untuk melaksanakan pembuatan pakaian adat tersebut, yaitu penjahit U untuk pakaian pria dan penjahit AB khusus wanita. Serta menggandeng pengrajin tapis, YT, sebagai penyedia aksesori pakaian wanita.
HH menjelaskan kepada tim BPK, memang tidak seluruh pakaian dan aksesori dikerjakan oleh penjahit dan pengrajin tunjukannya. Karena terdapat beberapa anggota DPRD dan pegawai Sekretariat Dewan yang tidak melakukan pengukuran baju sampai batas waktu yang ditentukan penjahit.
Lalu berapa dari 62 stel pakaian adat yang seharusnya dibuat, menjadi keterjadian? Untuk pakaian pria dari 51 orang, hanya 13 yang membuat. Dengan demikian, anggaran yang digunakan pun jauh berkurang.
Untuk jas tutup yang dianggarkan Rp 109.395.000, hanya digunakan Rp 27.885.000. Untuk aksesori yang hitungan awal mencapai Rp 100.470.000, menjadi Rp 25.610.000. Dan untuk rantai jam dari Rp 14.025.000, menjadi Rp 3.575.000. Sementara untuk pakaian adat wanita, hanya membuat lima dari semestinya 11 unit, senilai Rp 12.250.000. Dengan demikian, total anggaran yang digunakan hanya Rp 69.320.000, dari sebelumnya Rp 271.190.000.
Menurut BPK, dengan kondisi senyatanya yang demikian, maka masih terdapat pekerjaan yang belum dilaksanakan sebanyak 38 stel pakaian adat dan aksesori pria, 11 pakaian wanita, dan enam aksesori wanita, dengan nilai Rp 201.870.000.
Hasil pemeriksaan atas dokumen pembayaran terhadap pengadaan pakaian adat daerah tersebut, setelah dipotong pajak dan disetorkan ke kas negara sebanyak Rp 30.539.415, maka jumlah pekerjaan yang belum dilaksanakan penyedia sebesar Rp 171.330.585.
Dalam masalah ini, kembali HH membuat pengakuan menarik. Ia mengaku, sebelum adanya realisasi pembayaran (keluarnya SP2D) dari Sekretariat Dewan, telah memberi uang sebanyak Rp 89.950.000. Dengan perincian kepada 42 anggota Dewan sebesar Rp 81.850.000, dan enam orang pegawai Sekretariat Dewan Rp 8.100.000.
Berdasarkan penelisikan tim BPK atas keterangan penyedia dan permintaan keterangan kepada anggta DPRD serta Sekretaris DPRD Lampura, terungkap jika dari 62 orang yang seharusnya menerima pakaian adat daerah dan aksesorinya, hanya 13 orang saja yang mendapatkan sesuai ketentuan. Sedang 49 orang lainnya tidak melakukan pengukuran, sehingga tidak dibuatkan pakaian.
Juga terungkap fakta, bahwa dari 49 orang yang tidak dibuatkan pakaian, 48 di antaranya telah menerima uang dari HH, dan hanya satu orang pegawai Sekretariat DPRD yang tidak menerima uang dari HH.
Diuraikan oleh BPK, dari 48 orang yang mendapat uang HH, 21 di antaranya mengaku membuat pakaian adat sendiri, namun tidak melalui penyedia jasa yang ditunjuk HH. Lima orang tidak membuat pakaian adat, dan 23 orang lainnya tidak bisa menjelaskan penggunaan uang yang telah diterima dari HH.
Yang ironis, hingga batas waktu pemeriksaan berakhir, 21 orang yang mengaku membuat pakaian adat daerah sendiri, tidak dapat menyampaikan SPJ dan dokumentasi pembuatannya. Atas runtutan peristiwa ini, BPK menegaskan, sisa uang yang belum dipertanggungjawabkan penyedia pengadaan pakaian adat daerah sebanyak Rp 81.380.585.
Terkait dengan penggunaan anggaran belanja pakaian di lingkungan Sekretariat DPRD tahun 2022 ini, BPK merekomendasikan kepada Bupati Lampura agar memerintahkan Sekretaris DPRD untuk memberi sanksi sesuai ketentuan terhadap Kasubag Perlengkapan, DA, yang terindikasi menyalahgunakan wewenang dalam merealisasikan anggaran belanja.
Selain itu, juga mengembalikan indikasi kerugian daerah atas belanja pengadaan pakaian di lingkungan Sekretariat DPRD sebesar Rp 490.340.585 ke kas daerah. Sudahkah rekomendasi BPK tersebut dilaksanakan? Sumber media ini, Sabtu (18/11/2023) siang, menegaskan, sampai saat ini belum ada pengembalian kelebihan pembayaran ke kas daerah.
Benarkah begitu? Sayangnya, sampai berita ini ditayangkan, belum didapat keterangan dari Sekretaris DPRD Lampura. (***)