hak untuk memperoleh informasi; serta hak warga negaraatas privasi terutama yang dinikmati di media sosial dan ruang digital. Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) dari RUU Polri memperkenankan Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap Ruang Siber. Kekuasaan atas dunia maya ini mencakup mengambil tindakan dan memblokir atau mengakhiri akses dan memperlambat akses ke dunia maya karena alasan keamanan internal. Sepanjang sejarahnya, tindakan untuk memperlambat atau mengganggu akses internet telah digunakan oleh protes dan gerakan masyarakat sipil, seperti dalam kasus Papua dan Papua Barat pada tahun 2019, yang oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Provinsi Jakarta dianggap ilegal dan telah digunakan untuk menekan . RUU Polri akan memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki oleh Polrisampai melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen. Hal ini akan tercapai melalui sisipan Pasal 16A yang menjelaskan bahwa Polri berwenang untuk melakukan penggalangan intelijen. Penggalangan Intelijen merupakan tindakan untuk mempengaruhi sasaran dengan tujuan merubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan. Hal tersebut berarti bahwa Polri juga memiliki kewenangan untuk menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen seperti Badan Intelijen Nasional (BIN), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS). Kewenangan untuk melakukan penyadapan rentan terjadi penyalahgunaankarena pada RUU Kepolisian, kewenangan penyadapan oleh Polri disebutdilakukan dengan didasarkan pada undang-undang terkait penyadapan,padahal Indonesia hingga saat ini belum memiliki suatu peraturanperundang-undangan mengenai penyadapan. Hal tersebut akan menimbulkan disparitas dengan kewenangan serupa yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK. UU KPK mengatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK, sementara RUU Polri tidak mengharuskan anggota Kepolisian untuk mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan. Revisi UU Polri akan semakin mendekatkan peran Polri menjadi superbody investigator. Menurut Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri, polisi memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan dan pembinaan teknis kepada penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), penyidik lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang. Selain itu, Proses intervensi dilakukan baik pada tahap rekrutmen Penyelidik dan Penyidik KPK sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan PPNS yang tidak dipersyaratkan perlu persetujuan pelimpahan perkara, salah satunya Penyidik Lingkungan Hidup. Pada tahap rekrutmen, Kepolisian memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi pengangkatan untuk penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lain yang ditetapkan oleh UU sebelum diangkat oleh Menteri Hukum dan HAM. Hal tersebut berpotensi membuat KPK dalam mengangkat Penyidiknya perlu mendapat rekomendasi pengangkatan dari Kepolisian yang membuat semakin jauhnya independensi KPK dalam penanganan kasus karena Penyidiknya ditentukan oleh Kepolisian. Lewat RUU ini, polisi juga mendapatkan wewenang untuk memegang komando untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Sebuah inisiatif untuk membekali masyarakat sipil dengan kewenangan sekuritisasi yang memiliki sejarah kelam pada tahun 1998. RUU Kepolisian masih mengatur perihal Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa. Tetap diaturnya Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian harus dievaluasi karena faktanya justru memunculkan potensi timbulnya pelanggaran HAM maupun ruang bagi “bisnis keamanan”. Oleh karena itu pengaturan mengenai Pam Swakarsa dalam RUU Kepolisian semestinya ditinjau kembali. Revisi UU Kepolisian akan menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahunbagi anggota Polri dan 65 tahun bagi pejabat fungsional Polri yang tidak memilikidasar dan urgensi yang jelas. Dinaikkannya usia pensiun dikhawatirkan berpengaruh pada proses regenerasi dalam internal Kepolisian. Usulan kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah dalam internal Polri. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap proses rekrutmen dan kaderisasi dalam internal Kepolisian. Ketentuan ini juga harus dilihat secara sistematis dan menyeluruh berkaitan dengan pengesahan RUU ASN maupun RUU Kementerian Negara yang diduga akan memberikan legalisasi praktik “dwifungsi ABRI” yang mengizinkan Anggota Polri menduduki jabatan sipil di Kementerian Lembaga. Revisi UU Polri juga menambah daftar kewenangan yang tidak jelas peruntukannya dan menimbulkan tumpang-tindih kewenangan antara kementerian/lembaga negara. Meski menambah deretan kewenangan terhadap Kepolisian, namun RUU Polri tidak secara tegas mengatur perihal mekanisme pengawasan (oversight mechanism) bagi institusi Polri dan anggotanya. RUU Polri tidak menegaskan posisi dan mekanisme Komisi Kode Etik Kepolisian serta Komisi Kepolisian Nasional sebagai lembaga pengawas dan pemberi sanksi bagi anggota Polri yang melakukan pelanggaran. Evaluasi selama ini, Kompolnas sejatinya bukan lembaga pengawas melainkan lembaga kuasi eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian. Pengawas Internal Polri termasuk Kode Etik justru acapkali menjadi “benteng” impunitas dan diskriminasi penegakan hukum di internal Polri. Absennya kontrol, pengawasan, dan/atau penindakan efektif tidak menimbulkan efek jera (deterrent effect) terhadap polisi pelanggar sehingga berpotensi menimbulkan impunitas Kepolisian. (Tommy perdana putra.) formateur badko hmi sumbagsel