Scroll untuk baca artikel
Mirza-Jihan
Bandar LampungBerita UtamaLampung

Mengenal Sosok Juniardi,S.IP., MH., Sang Pembela Wartawan PWI Lampung, Dan Calon Ketua PWI 2021 – 2026

35
×

Mengenal Sosok Juniardi,S.IP., MH., Sang Pembela Wartawan PWI Lampung, Dan Calon Ketua PWI 2021 – 2026

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

PERPISAHAN kedua orang tuanya membuat pria satu ini sempat mengalami kehidupan yang sulit. Namun, kasih sayang sang ibu membuat dia bersama ketiga saudaranya menjadi sosok yang tegar dan mandiri.

Dia Juniardi, pria energik ini dilahirkan di Kota Metro, 3 Juli 1975. Dia anak ketiga dari empat bersaudara. Juniardi dibesarkan dari sang ibu yang sangat sayang kepadanya. “Saat kecil, sebenarnya kedua orang tua saya sangat sayang dan memberikan kasih yang berlimpah. Namun, karena terjadi sesuatu hal antarkeduanya, mereka berpisah. Saya dibesarkan oleh ibu tanpa ada peninggalan apa-apa dari ayah,” kata Juniardi di ruang kerjanya, Senin (27-5).

Namun, Juniardi melewati masa kecilnya yang perih bersama dukungan dan semangat dari sang ibu. Ibunya bekerja sebagai guru sekolah dasar (SD). Di tangan ibunya, Juniardi dan ketiga saudaranya dibesarkan. “Saya masih ingat, saat itu keadaan ekonomi keluarga sangat sulit. Bahkan, kakak perempuan saya harus menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk membantu perekonomian keluarga.”

Juniardi pun menyelesaikan pendidikan SD hingga SMA di Kota Metro, tetapi pendidikan yang ditempuhnya bukan tanpa perjuangan. Hingga duduk di SMP, rumah yang ditempatinya belum teraliri listrik. “Sehingga saya belajar dengan lampu jalan dari rumah tetangga yang sudah mampu memasang listrik,” kata dia.

Dia pun bersyukur bisa menyelesaikan studi hingga SMA. Lulus dari SMA, dia memiliki tekad untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun, ibunya yang hanya seorang guru SD telah mengatakan tidak mampu untuk membiayainya kuliah. Apalagi, sang ibu juga harus memikirkan adik-adiknya yang masih kecil.

Hingga akhirnya Juniardi memilih untuk masuk ke kampus swasta di Kota Metro untuk mengambil Diploma 1 Komputer. Dia pun mulai kuliah di sana dengan biaya sendiri. Untuk menutupi biaya itu, Juniardi pun menyempatkan bekerja apa saja, mulai dari buruh pabrik, kuli bangunan, sampai menjadi karnet angkot. Bahkan, dia juga berdagang lukisan dari barang bekas. “Yang penting bagi saya, bagaimana bisa mendapatkan uang dan tidak membebani orang tua.”

Juniardi saat itu berprinsip selama badannya sehat dan masih kuat untuk bekerja, dia akan melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang yang paling tinggi. Apalagi, waktu itu, dia melihat seorang tukang becak yang mendapatkan penghasilan Rp30 ribu sehari. Itu artinya sebulan mendapatkan uang Rp900 ribu.

“Berarti, bila saya bekerja apa pun dengan badan yang sehat ini tentunya bisa melanjutkan studi sambil bekerja. Saat itu besaran uang kuliah per semester Rp600 ribu dan semuanya dapat tertutupi dari saya bekerja apa saja,” kata mantan wartawan Lampung Post itu.

Sangat wajar di masa remaja dan usia mudanya Juniardi tidak mengenal pacaran. Yang ada dalam pikirannya, bagaimana dia bisa sekolah. Dia pun akhirnya melanjutkan ke jenjang S-1 di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisipol) Darmawacana Metro. Sekalipun berjibaku dengan waktu dan keringat, Juniardi mampu menyelesaikan kuliahnya tepat waktu.

Saat akan lulus kuliah, Juniardi mulai tertarik dengan dunia jurnalistik, khususnya tulis-menulis. Karena ketertarikannya itu, dia pun pernah menjadi penulis terbaik dalam lomba menulis yang diadakan media nasional.

“Waktu itu, saya masih kuliah semester terakhir. Namun, saya mulai aktif menulis dan belum bercita-cita menjadi seorang wartawan. Namun, saya suka membaca buku-buku tentang jurnalistik,” kata dia.

Jurnalistik Membawanya ke Istana

Akhirnya, untuk menunjang biaya kuliahnya, Juniardi mencoba menceburkan diri ke dunia jurnalistik dengan menjadi kontributor berita di beberapa media mingguan dan radio nasional Tri Jaya FM. Kepiawaiannya makin terasah dan teruji sehingga dia dapat menyelesaikan studinya sambil aktif di dunia jurnalistik.

Sampai pada suatu ketika pada tahun 2000-an, Juniardi berpikiran untuk meningkatkan profesionalitas jurnalistik dan masuk ke media massa yang lebih besar, yaitu Lampung Post. Juniardi pun mulai hengkang ke Kota Bandar Lampung untuk memulai karier jurnalistiknya.

“Saya berangkat ke Kota Bandar Lampung hanya membawa satu buah tas yang berisi beberapa helai baju. Sempat bingung di Bandar Lampung saya mau menginap di mana. Rupanya kebaikan Tuhan mengantarkan saya untuk dikenalkan banyak orang baik di kota ini. Mereka pun bersedia menjadi orang tua angkat saya,” ujar Juniardi.

Setelah beberapa tahun mengabdi di Lampung Post, Juniardi pun memiliki keinginan untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan membulatkan tekad untuk maju, dia pun mengikuti tes magister hukum di Pascasarjana Hukum Unila.

Persoalan baru pun timbul, bagaimana dia mendapatkan biaya kuliah. Beruntung, dia mendapatkan beasiswa dari Lampung Post untuk melanjutkan kuliah. Baru satu setengah semester menjalankan kuliah, Juniardi pun menemukan jodohnya dan memutuskan untuk menikah. Sayangnya, setelah menyelesaikan S-2-nya, dia bercerai dengan sang istri yang telah memberinya satu orang anak.

“Terus terang, saya sangat sedih bercerai dengan istri. Apalagi, hal itu terjadi saat saya baru menyelesaikan magister. Saya diwisuda magister tanpa didampingi istri yang sangat saya cintai. Saya sangat sedih dan sempat tidak bersemangat menjalani kehidupan ini.”

Enam bulan mengalami guncangan hidup, Juniardi pun berhasil menenangkan diri berusaha memperbaiki hidup. “Dukungan teman-teman di Lampung Post membuat saya kembali tegar dalam menjalani hidup. Saya meyakini dalam setiap cobaan akan ada jawaban yang lebih indah dari Tuhan. Akhirnya, di akhir 2009, saya mampu menyelesaikan studi dari magister hukum dengan predikat terbaik,” kata dia.

Dipanggil Presiden

Pada Juli 2010, tanpa dia duga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memanggil dia ke Istana Negara. Di sana rupanya dia mengikuti perkumpulan pemuda-pemuda terbaik bangsa. Juniardi satu-satunya orang yang ber-background wartawan se-Indonesia yang dipanggil ke Istana Negara.

“Di sana, ternyata negara mengumpulkan pemuda-pemuda terbaik bangsa, baik itu dari latar belakang militer, polisi, ilmuwan, akademisi, organisasi masyarakat, dan wartawan. Kegiatan forum yang dikemas bertajuk Pelatihan Kader Pemimpin Indonesia di Masa Depan (The Future Divice Leader) di Istana Negara,” kata Juniardi.

Di Istana Negara sungguh pengalaman yang luar biasa. Selama kurang lebih satu minggu di sana dia bersukacita karena dia satu-satunya insan wartawan mewakili berapa juta wartawan yang ada di Indonesia.

Pulang dari Istana, Juniardi pun kembali menjalankan aktivitasnya. Namun, saat itu ada pembukaan penerimaan anggota Komisi Informasi Indonesia, mulai dia ketahui pada 2010. Dia pun mengikuti tes demi tesnya hingga Januari 2011 dia pun lulus seleksi dan diterima.

Pada Maret 2011, dia dilantik dan dipercaya sebagai ketua Komisi Informasi Provinsi Lampung. Dia juga dipercaya sebagai ketua Forum Komunikasi Informasi se-Indonesia dan dinobatkan sebagai komisioner termuda se-Indonesia.

“Rupanya pengalaman selama di dunia jurnalistik sangat banyak membantu dalam menjalankan tugas sebagai komisioner di lembaga tinggi negara, yaitu Komisi Informasi,” kata dia. (Rls/ SURYA BAKARA/S-3)

Mirza-Jihan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *