Bandar Lampung, TintaInformasi.com–Aktivitas tambang pasir ilegal masih terus marak di Lampung, termasuk kawasan pesisir. Mulai dari Lampung Timur, Lampung Tengah, Pringsewu, hingga Lampung Barat. Aktivitas tambang ilegal itu tidak hanya merusak lingkungan tapi juga biota laut.
Mitra Bentala Lampung mengaku prihatin masih maraknya aktivitas tambang pasir laut di perairan pesisir Lampung, terutama di perairan Lampung Timur dan Tulang Bawang, sekitarnya. ”Jelas-jelas aktivitas ini akan berdampak terhadap ekosistem laut dan dampak bagi nelayan yang hidupnya bergantung pada hasil-hasil laut sebagai penopang hidup bagi keluarganya,” ucap Mashabi, Manager Advokasi dan Kajian MITRA BENTALA Lampung, melalui keterangan persnya, Jum’at 11 Februari 2022.
Menurut Mashabi, bahwa penambangan pasir di laut dilarang dilakukan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. ”Dalam Pasal 35 ini tertulis bahwa dilarang melakukan penambangan pasir, jika dapat merusak ekosistem perairan,” kata dia.
Mashabi menjelaskan, sebagaimana di Pasal 35 Ayat (1) menyatakan melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitar.
”Tentunya hal tersebut patut diduga melanggar pasal 109 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan. Selain itu juga diperkuat provinsi Lampung telah memiliki Perda Lampung No.1/2018 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,” jelasnya.
Sehingga lanjut Mashabi, peruntukannya menjadi jelas. Ada yang dipakai peruntukan pariwisata, kelautan dan perikanan, serta dipakai untuk peruntukan ESDM, maupun peruntukan kehutanan dan lainnya. ”Jelas dalam Perda disebutkan tidak ada kegiatan tambang pasir laut di seluruh perairan Lampung. Tapi aktivitas tambang pasir muncul kembali beberapa bulan terakhir yang ditemukan oleh nelayan-nelayan Lampung Timur dan Tulang Bawang,” terangnya.
Penyedotan pasir laut juga dikeluhkan para nelayan, di Kuala Teladas, dan Nelayan di Labuhan Maringgai. “Kami nelayan Kuala Teladas, Kabupaten Tulang Bawang, dan masyarakat pesisir sangat mengeluhkan aktivitas ini. Karena adanya aktivitas tambang pasir tersebut merusak habitat biota laut dan berdampak pada hasil tangkapan nelayan,” kata Andi Asnawi, Nelayan asal Kuala Teladas.
Hal yang sama juga disampaikan nelayan lainnya, Paidi yang menyebutkan bahwa aktivitas pengerukan pasir ini dengan kehadiran kapal atau tongkang ini sangat meresahkan masyarakat. ”Terutama nelayan, kami berharap ada perhatian dari pemerintah setempat,” ujarnya.
Miswan nelayan Labuhan Maringgai Kabupaten Lampung Timur sekaligus Ketua Forum Nelayan Nusantara perwakilan Lampung, sangat memprihatinkan dan mengeluh dengan munculnya aktivitas tambang pasir ini.
”Para nelayan kami ini adalah nelayan yang ramah lingkungan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan, sesuai yang dianjurkan oleh Pemerintah. Tetapi, dilain pihak ada yang melakukan kegiatan merusak lingkungan terutama di laut,” ucapnya.
Menurutnya, sampai saat ini belum ada perhatian dari pemerintah, jadi hal tersebut sudah menjadi keluhan, bahkan sudah berbagai cara seperti pengaduan-pengaduan ke berbagai pihak.
”Tetapi belum ada tindakan, jadi kami berharap ada tindakan yang tegas dari pihak yang berwenang, terutama dari Pemerintah, karena ini melanggar peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah,” ungkap Miswan.
Menurut Miswan keluhan terbanyak dari nelayan ranjungan yang mendukung konsep perikanan berkelanjutan sesuai dengan tujuan dan target Gubernur Pemerintah Provinsi Lampung untuk menjadi penghasil Ranjungan nomor 3 terbesar di Indonesia.
”Jika ada kegiatan tambang pasir ini terus beroperasi tentunya bertolak belakang dengan keinginan Pemerintah Provinsi Lampung. Dan target GUbernur sebagai penghasil rajungan sulit tercapai. Yang paling penting adalah sumber-sumber kehidupan nelayan juga terancam,” katanya. (red)