Nasional

Terkait Kriminalisasi Arthur Mumu, Alumni Lemhannas Pertanyakan Profesionalitas Penegak Hukum di Sulut

31
×

Terkait Kriminalisasi Arthur Mumu, Alumni Lemhannas Pertanyakan Profesionalitas Penegak Hukum di Sulut

Sebarkan artikel ini

Jakarta,TintaInformasi.com–Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara (PT Sulut) telah membuat putusan atas permohonan banding dari korban kriminalisasi atas nama Arthur Mumu (43), seorang warga Manado yang dituduh melakukan pelanggaran UU ITE. Dalam salinan putusan setebal 11 halaman itu, majelis hakim banding PT Sulut memperkuat putusan Pengadilan Negeri (PN) Manado yang menghukum Arthur dengan 9 bulan kurungan penjara. Hal itu luput dari perhatian publik, termasuk oleh media lokal dan nasional, jika saja Arthur Mumu menerima dan pasrah saja terhadap kezoliman para aparat penegak hukum di provinsi paling utara Pulau Sulawesi itu.

Menyikapi kenyataan pahit ini, Arthur Mumu, yang juga adalah Anggota Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), menyampaikan permasalahan tersebut kepada Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA. Alumni PPRA-48 tahun 2012 itu selanjutnya menelaah dan berdiskusi dengan berbagai pihak terkait kasus tersebut. Lalengke juga melakukan komunikasi dengan Kejati Sulut untuk mempertanyakan keanehan yang terjadi pada penyampaian putusan majelis hakim tinggi atas kasus kriminalisasi jurnalis PPWI Arthur Mumu.

Ada beberapa keganjilan, kata Wilson Lalengke, yang perlu mendapat perhatian bersama, khususnya bagi penyelenggara hukum, baik legislatif maupun eksekutif dan yudikatif, di tingkat nasional, terkait putusan majelis hakim di PT Sulut itu. Pertama, penyampaian salinan putusan majelis hakim banding atas kasus kriminalisasi bertameng pasal karet UU ITE ini kepada terdakwa Arthur Mumu dilakukan melalui pesan WhatsApp.

“Sejak kapan pengiriman putusan hakim dan surat-menyurat serta pengiriman dan/atau pertukaran informasi dari lembaga-lembaga hukum kepada warga yang berproses hukum boleh dilakukan hanya melalui pesan WhatsApp? Ini benar-benar konyol,” ujar lulusan pasca sarjana bidang Global Ethics dari Birmingham University, The United Kingdom, itu heran, Minggu, 13 Februari 2022.

Kedua, lanjutnya, penyampaian salinan putusan majelis hakim banding atas kasus kriminalisasi itu dilakukan secara langsung melalui pesan WhatsApp oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara (Kejati Sulut) kepada Arthur Mumu, bukan oleh jurusita PN Manado sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAPid). Ketika hal tersebut ditanyakan kepada jaksa di Kejati Sulut, Elseus Salakori, SH, MH, yang menangani kasus ini, yang bersangkutan menjawab bahwa secara prosedural penyampaian putusan hakim dilakukan oleh jurusita PN Manado.

“Dalam proses persidangan perkara pidana kedudukan penuntut umum dan terdakwa adalah sejajar. Selanjutnya, untuk pemberitahuan putusan disampaikan oleh pengadilan (juru sita pengadilan negeri) kepada penuntut umum dan terdakwa atau penasehat hukum,” beber Lalengke mengutip penjelasan Elseus Salakori melalui pesan WhatsApp-nya kepada pemimpin redaksi Koran Online Pewarta Indonesia (KOPI) ini [1]. Salakori tidak menjelaskan mengapa Kejati Sulut yang aktif menyampaikan putusan banding itu, bukan PN Manado.

Ketiga, putusan hakim banding ditetapkan pada tanggal 16 Desember 2021, namun pemberitahuan kepada Arthur Mumu dilakukan, sekali lagi hanya melalui pesan WhatsApp, pada tanggal 31 Januari 2022. “Fakta ini menjadi salah satu bukti atas kebobrokan sistem dan kinerja aparat penegak hukum di Sulut, dalam hal ini Pengadilan Tinggi, Kejaksaan Tinggi, dan Pengadilan Negeri Manado, karena jelas melanggar Pasal 226 ayat (1) KUHAPid yang berbunyi: Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasehat hukumnya segera setelah putusan diucapkan [2]. Jikapun PT Sulut dapat berkilah bahwa Pasal 226 ayat (1) tersebut hanya di lingkup pengadilan negeri sebagai lembaga peradilan tingkat pertama, namun pemberitahuan putusan hakim banding wajib disampaikan kepada PN Manado sesegera mungkin, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 243 ayat (1) KUHAPid, yang berbunyi: Salinan surat putusan pengadilan tinggi beserta berkas perkara dalam waktu tujuh hari setelah putusan tersebut dijatuhkan, dikirim kepada pengadilan negeri yang memutus tingkat pertama [3],” tegas Lalengke.

Keempat, yang paling aneh bin absurd adalah bahwa putusan banding tersebut dinyatakan sudah berkekuatan hukum tetap alias _inkracht van gewijsde_. Hal itu tertuang dalam catatan Panitera Pengadilan Negeri Manado yang ditandatangani pada tanggal 11 januari 2022 oleh M. Abduh Abas, SH yang dikirimkan bersamaan dengan salinan putusan majelis hakim banding oleh Kejati Sulut kepada Arthur Mumu. Catatan itu berbunyi: Putusan Nomor 117/PID/2021/PT Mnd dinyatakan telah berkekuatan hukum tetap sejak tanggal 31 Desember 2021 berhubung terdakwa dan Jaksa Penuntut Umum menerima atau tidak mengajukan upaya hukum kasasi.

“Ini benar-benar sebuah kebiadaban hukum yang dipertontonkan dengan fulgar oleh oknum di lembaga-lembaga peradilan di Sulut itu. Bagaimana mungkin Arthur Mumu bisa melakukan upaya hukum kasasi ketika pemberitahuan tentang putusan hakim banding disampaikan kepadanya pada tanggal 31 Januari 2022 hanya melalui pesan WhatsApp oleh Kejati Sulut? Fakta ini mengindikasikan bahwa pihak pengadilan diduga kuat sengaja tidak memberitahukan terdakwa terkait hasil permohonan banding yang bersangkutan dan langsung memutuskan secara sepihak bahwa terdakwa menerima dan tidak melakukan perlawanan melalui upaya hukum kasasi. Ini benar-benar perlakuan sadis oknum aparat hukum terhadap warga negara menggunakan pedang hukum!” kata tokoh pers nasional yang getol membela rakyat terzolimi di berbagai daerah itu.

Sehubungan dengan buruknya proses penanganan perkara dalam rangka menghadirkan keadilan bagi semua warga negara di Sulawesi Utara, khususnya terkait kasus kriminalisasi Arthur Mumu ini, Lalengke mempertanyakan profesionalitas dan pertanggungjawaban para aparat penegak hukum di wilayah tersebut. Bagi pria yang juga menamatkan program pasca sarjanannya di bidang Applied Ethics di Utrecht University, The Netherlands, dan Linkoping University, Sweden, itu seyogyanya profesionalitas kerja para polisi, jaksa dan hakim harus tercermin dari keadilan hukum yang berhasil mereka hadirkan bagi setiap warga yang berperkara melalui proses peradilan.

“Bagi saya, ketika keadilan tidak mampu dihadirkan dalam proses peradilan, berarti para petugas yang diberi amanah dan digaji negara untuk melaksanakan tugas peradilan itu tidak profesional dan gagal total. Karena itu mereka harus menanggalkan segala identitas, gelar dan jabatan yang disandangnya, seperti gelar akademis dan jabatan polisi, jaksa, hakim, dan termasuk advokat. Mereka bergelar sarjana hukum, tapi jangankan mampu mewujudkan tujuan hukum, berperilaku adil saja mereka gagal. Hal itu tentu sangat memalukan!” ujar Lalengke yang juga menjabat sebagai Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) ini tegas.

Sebagai informasi singkat terkait kasus yang menjerat Arthur Mumu, perlu disampaikan bahwa warga yang tinggal di Kecamatan Paal Dua, Kota Manado, itu dilaporkan oleh seorang pengusaha swalayan di Manado bernama Ridwan Sugianto ke Polda Sulut. Arthur dipolisikan dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik melalui teknologi informasi alias melanggar UU ITE.

Ridwan Sugianto keberatan atas postingan video live di akun facebook Arthur Mumu yang mengatakan: “Kawal kasus penguasaan hak dan pemalsuan oleh Ridwan Jumbo atas tanah milik ahli waris Glen Kemba Serentu dan Violieta Chorhelia Mailoor yang dilaporkan ke Polda Sulut.” Video live ini dilakukan oleh Arthur Mumu langsung dari lokasi tanah kedua ahli waris yang dibelanya.

Menurut Arthur Mumu, apa yang dia sampaikan itu adalah informasi yang benar, faktual, dan bukan kebohongan. Kedua ahli waris memang benar telah melaporkan Ridwan Sugianto ke Polda Sulut terkait dugaan penyerobotan tanah waris mereka dengan alat bukti adanya pagar yang dibuat oleh Ridwan Sugianto dan material bangunan di atas tanah mereka. Tidak jelas alasannya, Polda Sulut selanjutnya menghentikan penyelidikan atas laporan Glen dan Violieta, walaupun BPN Manado telah memberikan keterangan bahwa telah terjadi penyerobotan tanah kedua ahli waris dan pembuatan sertifikat palsu atas tanah itu.

Berbanding terbalik dengan laporan ahli waris, laporan Ridwan ‘orang berduit’ Sugianto justru lancar melenggang-kangkung diproses oleh polisi, gayung bersambut dengan lincah diterima oleh Kejaksaan Tinggi Sulut, dan selanjutnya terserah majelis hakim Pengadilan Negeri Manado. Hasilnya 9 bulan untuk sang pejuang keadilan bagi warga ‘tak berduit’ di kampungnya, Arthur Mumu.

“Mengutip Pak Soesilo Bambang Yudhoyono, saya prihatin…” tutup Lalengke dengan nada prihatin. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *