Bandar LampungHukum dan KriminalLampung

Abaikan Hak Pasien, RS Hermina Diduga Langgar UU Rumah Sakit

35
×

Abaikan Hak Pasien, RS Hermina Diduga Langgar UU Rumah Sakit

Sebarkan artikel ini

TintaInformasi.com, Bandar Lampung – Bukan hal yang baru lagi apabila terjadi kelalaian dalam penanganan pasien oleh pihak rumah sakit.

Seperti halnya yang terjadi di RS Hermina, Enggal, Bandar Lampung, pasien bernama Damsyik Ujang, warga Kaliawi, Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung dipulangkan meski kondisinya masih sakit. Perawat melepas selang infus dan selang kateter di tubuh pasien tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada keluarga pasien. Perawat melepas alat berdasarkan rekam medis dari Dokter Penanggungjawab Pasien (DPJP). Namun hal ini masih menjadi pertanyaan, apakah benar rekam medis pasien menunjukan kondisi pasien yang sudah sehat, sementara malam sebelum alat dilepas pasien dalam keadaan tidak bisa tidur dan kondisi tubuh lemah.

Bagaimana tanggungjawab secara hukum atas dugaan kelalaian tenaga medis dalam melalukan tindakan terhadap pasien?

Syech Hud Ismail, SH, Sekretaris BPC Perkumpulan Advocaten Indonesia (PAI) Kota Bandar Lampung mengatakan, apabila terjadi penyimpangan ataupun kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis dalam melakukan tindakan medis kepada pasien di rumah sakit, rumah sakit harus bertanggungjawab atas segala peristiwa yang terjadi di rumah sakit. Adanya hal demikian, hendaknya rumah sakit memberikan sanksi tegas terhadap tenaga medis yang lalai sebagai upaya dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit.

“Pasien yang menjadi korban atas kelalaian tenaga medis dalam melakukan tindakan medis, dapat menuntut hak-haknya yang telah dilanggar dan meminta pertanggungjawaban tenaga medis atas kelalaiannya dalam melakukan tindakan medis terhadap dirinya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk jaminan perlindungan hukum terhadap diri pasien,” bebernya.

“Tujuan lainnya adalah agar tenaga medis tidak lari dari tanggung jawab yang seharusnya ia lakukan sebagai akibat dari perbuatannya,” lanjutnya.

Dia menandaskan, rumah sakit sebagai sarana dalam pelayanan kesehatan seharusnya memberikan pelayanan perorangan secara paripurna kepada masyarakat. Hal ini berdasarkan pada ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit yang menyatakan bahwa rumah sakit memiliki tugas untuk memberikan pelayanan perorangan secara paripurna kepada masyarakat. Pelayanan perorangan secara paripurna kepada masyarakat yang berarti secara kontekstual yang dimaksud memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan lengkap, baik itu dalam hal tahapan-tahapan penanganan medis dan juga tenaga medisnya.

rumah sakit sebagai institusi yang membawahi tenaga kesehatan untuk melakukan pelayanan kesehatan, bertanggung jawab atas segala peristiwa yang terjadi di dalam rumah sakit. Termasuk halnya bertanggung jawab atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis dalam melakukan tindakan medis kepada pasien.

“Ketentuan mengenai tanggung jawab ini harus bertumpu pada Pasal 1366 dan 1367 KUHPerdata. Namun pengaturan lebih khusus mengenai tanggung jawab hukum rumah sakit telah diatur di dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,” ujar Syech Hud.

Dikatakan, rumah sakit dalam hal demikian menerapkan doktrin Corporate Liability, dimana penerapannta mengharuskan kepada rumah sakit untuk selalu mengawasi dan mengontrol segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh bawahannya agar tidak terjadi kelalaian yang mengakibatkan kerugian bagi pasien.

Selanjutnya upaya hukum yang dapat dilkukan oleh pasien ataupun keluarga pasien adalah dengan menyelesaikannya secara litigasi maupun non-litigasi. Keduanya memiliki kelemahan dan kelebihan yang harus diketahui oleh pasien ataupun keluarga pasien. Hal ini sebagai pedoman bagi pasien ataupun keluarga pasien dalam menyelesaikan perkara medis yang terjadi antara dirinya dengan tenaga medis. Pada umumnya penyelesaian secara litigasi banyak dipilih oleh pasien ataupun keluarga pasien. Namun seiring dengan berjalannya waktu penyelesaian secara non-litigasi banyak mendapat perhatian dalam menyelesaikan perkara medis. Misalnya saja mediasi. Mediasi menjadi suatu alternatif penyelesaian yang dapat dipilih oleh pasien ataupun keluarga pasien. Hal ini sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Banyak upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien ataupun keluarga pasien. Namun semuanya kembali pada kehendak pasien ataupun keluarga pasien untuk menyelesaikan perkara medis melalui jalur yang diinginkan tanpa adanya intervensi dari pihak lain,” pungkasnya.

Terungkap, pihak RS Hermina, Enggal, Bandar Lampung diduga mengabaikan hak pasien mendapatkan pelayanan kesehatan agar bisa keluar rumah sakit dalam keadaan sehat kembali.

Ditemui di salah satu rumah sakit swasta lain di Bandar Lampung, pasca dirinya dipulangkan oleh pihak RS Hermina, Damsyik Ujang, warga Kaliawi, Tanjungkarang Pusat, yang masih terbaring lemah mengungkap, bahwa Dokter Penanggungjawab saat dirinya dirawat di RS Hermina juga bertugas di Menggala, Tulangbawang.

“Besok saya mau ke Menggala jadi besok bapak sudah bisa pulang,” ujar pasien menirukan perkataan dr. Dobi (dokter penanggungjawab) yang diduga kuat menjadi alasan si pasien diminta pulang, meski kondisi pasien belum sehat. Padahal, pasien baru dua hari dirawat di RS Hermina. Hal itu terbukti dari dilepasnya selang kateter dan infus pasien, meski kondisi pasien masih dalam keadaan sakit, pada Rabu (11/5/2022).

Saat dikonfirmasi, dr Evi Ayu, selaku Manajer Pelayanan Medis RS Hermina mengakui adanya kesalahan. Dimana terjadi miskomunikasi antara keluarga pasien dengan perawat dari pihak rumah sakit.

“Memang itu ada kesalahan dari perawat kami, ada miskomunikasi, pada saat pelepasan selang kateter dan infus memang sudah indikasi medis, dari DPJP (Dokter Penanggungjawab Pasien) sudah diperbolehkan pulang, dan pada saat pelepasan selang memang hanya komunikasi dengan pasien,” jelas Evi, didampingi Ferdi selaku Public Relation, ditemui sejumlah wartawan di RS Hermina, Jumat (13/5/2022).

“Dari DPJP sudah menjelaskan bahwa pasien sudah stabil,” sambungnya lagi.

Disinggung soal penggunaan BPJS oleh pasien yang kemudian naik ke kelas I, jadi alasan pasien dipulangkan, pihak rumah sakit membantah.

“Kami melayani penggunaan BPJS dan pasien pada saat pelepasan infus dan kateter itu sudah stabil berdasarkan DPJP,” tegasnya, seraya mengatakan bahwa pada hari alat dilepas, dokter visit datang.

Parahnya, pada saat dipulangkan, kondisi pasien belum sehat. Lantas pihak keluarga memasukan pasien ke rumah sakit swasta lain, dengan hasil pemeriksaan awal, suhu tubuh dan gula darah yang tinggi, disertai tipes.

“Memang malam harinya, ayah saya gak bisa tidur, suhu tubuhnya tinggi (pada saat dirawat di RS Hermina) dan tiba-tiba besoknya(Rabu, 11 Mei 2022), saya dapat kabar ayah saya sudah bisa pulang, dan perawat melepas selang infus dan kateter,” ujar Ari, ditemui di salah satu rumah sakit swasta di Bandar Lampung, Jumat (13/5/2022).

Terungkap pula, bahwa pada saat pasien dipulangkan dari RS Hermina, pada Rabu (13/5/2022), tidak ada dokter visit yang datang memeriksa. Hal ini berbeda dengan pernyataan dr. Evi saat ditemui di RS Hermina.

“Tidak ada dokter visit yang datang pada saat ayah saya dilepas alatnya,” tandas Ari, pria berperawakan tegap ini.

“Apa yang dilakukan pihak RS Hermina tidak profesional, dan mengabaikan hak pasien, ini pasien masih dalam kondisi sakit kok disuruh pulang,” beber Ari.

“Saya juga menulis ulasan di Web RS Hermina terkait pelayanan yang dialami ayah saya, tapi ulasan itu dihapus,” ucapnya. (tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *