Walikota Eva Dwiana Serius Mewujudkan “Kawasan Pecinan” di Daerah Telukbetung

TINTAINFORMASI.COM, BANDAR LAMPUNG — Menurut penelusuran, pada KUA PPAS APBD 2024 telah dicantumkan anggaran Rp 5 miliar untuk melahirkan daerah wisata kuliner bernama Chinatown tersebut. Anggaran sebanyak itu hanya untuk membangun gerbang atau gapuranya saja. Plus dibuatkan Tugu Pagoda-nya.
Itu baru anggaran untuk membangun gerbang atau gapura Chinatown dan “tanda” bila kawasan di Jln. Ikan Bawal, Telukbetung, itu menjadi “wilayah pecinan”. Belum kelengkapan sarana dan prasarana pendukung lainnya.
Masih menurut penelusuran kepada beberapa sumber, Minggu (22/10/2023), “keberanian” Walikota Eva Dwiana menganggarkan Rp 5 miliar pada APBD 2024 itu, tidak lepas dari adanya jaminan para tokoh masyarakat keturunan Tionghoa, bahwa mereka siap melanjutkan “pembangunan” setelah pemkot mewujudkan gapura Chinatown dan Tugu Pagoda.
“Nanti banyak kawan-kawan yang akan bantu. Ada juga yang lewat CSR. Yang penting, pemkot sudah buatkan gapura dan Tugu Pagoda. Karena itu bukti otentik bila pemerintah merestui hadirnya kawasan Chinatown,” kata seorang tokoh yang meyakini kawasan Chinatown akan mampu menjadi tempat wisata kuliner terbaik di Bandar Lampung ke depannya.
Benarkah pemkot telah menganggarkan pembangunan gapura Chinatown sebesar Rp 5 miliar? Anggota DPRD Bandar Lampung, Yuhadi, tidak membantahnya.
“Iya, memang sudah dianggarkan sebanyak itu. Di APBD 2024,” kata politisi muda asal Partai Golkar ini, Senin (23/10/2023) pagi.
Mengacu pada KUA PPAS APBD 2024, Yuhadi membenarkan bila anggaran Rp 5 miliar tersebut oleh pemkot disebutkan untuk pembangunan gapura/gerbang Chinatown dan Tugu Pagoda.
Ketua DPD Partai Golkar Bandar Lampung ini menilai, hadirnya kawasan Chinatown harus dilihat lebih kepada aspek budaya kearifan lokal sebagai simbol keberagaman yang pada akhirnya nanti menjadi ikon Bandar Lampung tentang keberagaman dan simbol perdamaian.
“Jadi, hadirnya kawasan Chinatown itu bukan masalah, karena ini bukan menyangkut soal akidah,” ujar Yuhadi, sambil meminta semua pihak tidak berpikiran sempit dalam bermasyarakat, karena Indonesia memiliki beragam suku dan budaya yang selama ini hidup saling berdampingan dengan damai.
Ia mengajak semua pihak untuk melihat kenyataan telah menyatunya beragam suku dan budaya di Bandar Lampung selama ini.
“Akulturasi dalam kehidupan kita juga sepertinya sudah menjadi hal yang biasa, sebagaimana anak-anak kita belajar memainkan barongsai dan belajar silat wushu. Pun demikian sebaliknya, kawan-kawan kita keturunan Tionghoa juga belajar seni bela diri TTKDH dan lain sebagainya,” imbuh Yuhadi.
Anggota DPRD Bandar Lampung ini optimis, bila dikelola dengan baik, kawasan Chinatown nantinya akan menjadi tempat tujuan wisata yang prospektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, rencana Pemkot Bandar Lampung mendirikan lokasi wisata bernuansa Tionghoa yang diberi nama Chinatown, berlokasi di Jln. Ikan Bawal, Telukbetung, menuai pro-kontra di tengah masyarakat. Baik yang disampaikan ke publik maupun sebatas diskusi terbatas.
Salah satu yang menyoroti rencana ini adalah pendiri Pusat Studi Kajian Sejarah Budaya Lampung (PUSKAMSBL), Yuridhis Mahendra.
Ia terang-terangan menolak hadirnya kawasan Chinatown tersebut.
Menurut dia, jika Pemkot Bandar Lampung kehilangan akal dalam mencari nama untuk kawasan wisata baru yang tengah direncanakan, sebaiknya bertanya kepada sesepuh adat di Lampung.
“Kan ada Majelis Penyimbang Adat Lampung, atau tanya ke tim ahli cagar budaya (TACB),” ucap Yuridhis Mahendra yang biasa disapa Idris Abung, Sabtu (21/10/2023) lalu.
Dikatakan, selama ini, baik Pemkot Bandar Lampung maupun Pemprov Lampung memang tidak serius dalam urusan pelestarian budaya, cagar budaya hingga pembuatan aturan regulasi yang juga bagian dari turunan UU Nomor 10 tentang Cagar Budaya dalam bentuk peraturan daerah (perda).
“Kalau di Lampung ini sudah ada aturan atau regulasi tentang pelestarian budaya, perlindungan budaya, coba sampaikan, perda nomor berapa dan kabupaten atau kota mana yang sudah memilikinya,” lanjutnya sambil mengurai, jika pelestarian nilai budaya lokal di Lampung seperti orang latah atau kaget semata.
Mengevaluasi atas berbagai kebijakan Pemkot Bandar Lampung maupun Pemprov Lampung, Idris Abung terang-terangan menilai bila Lampung saat ini darurat nilai budaya.
Apa buktinya? “Tidak usah jauh-jauh melihatnya. Urusan lokasi wisata bernuansa Lampung dari aturannya saja dululah. Itu saja banyak tidak jelas, malah dengan adanya perilaku seperti itu saya menilai seakan sengaja menciptakan kondisi kalau bisa mari kita hilangkan sejarah asli,” urainya.
Idris Abung menegaskan, dirinya berbicara seperti ini bukan berarti menghilangkan hubungan Lampung dan China. Tetapi semata-mata agar kearifan budaya lokal tetap dapat ditonjolkan.
“Dengan penggunaan nama Chinatown, sama sekali tidak mengandung unsur nilai kearifan lokal. Itu sama saja pelan-pelan menghilangkan jejak sejarah di Lampung, sedangkan di lokasi yang dinamai Chinatown, ada masjid tertua di provinsi ini,” katanya lagi.
Ia mengingatkan, pemkot jangan mengajarkan kepada warga untuk tidak konsisten dalam melestarikan nilai budaya, sebab dengan menggunakan nama di luar kearifan lokal, jelas menunjukkan bila pemkot tidak mencintai nilai kearifan lokal.
“Jika nama Chinatown tetap dipertahankan, itulah bukti Pemkot Bandar Lampung gagap terhadap kearifan lokal budayanya sendiri,” pungkasnya.
Sementara, pemerhati pemerintahan, Gunawan Handoko, mengingatkan perlunya Pemkot Bandar Lampung lebih cermat dalam pemberian nama Chinatown.
“Jangan sampai, tujuan yang baik malah menimbulkan sekat di masyarakat,” kata dia.