Lampung

Pemprov Ternyata Masih Nunggak Pembayan DBH 15 Kabupaten/Kota Dengan Nilai Fantastis 1,08 Triliun

105
×

Pemprov Ternyata Masih Nunggak Pembayan DBH 15 Kabupaten/Kota Dengan Nilai Fantastis 1,08 Triliun

Sebarkan artikel ini
Tintainformasi.com, Lampung —Pemprov Lampung hingga saat ini belum membayar dana bagi hasil (DBH) yang seharus diberikan kepada pemerintah di 15 kabupaten/kota.   Hal itu tentu saja menyedot perhatian berbagai kalangan dan masyarakat luas di Lampung. Maklum saja lantaran nilai dana DBH yang belum dibayarkan tersebut cukup fantastis, menembus angka Rp1,08 Triliun.   Berbagai komentar disampaikan oleh banyak warga masyarakat. Mayoritas mendorong Gubernur Arinal Djunaidi untuk segera menggelontorkan dana bagi hasil yang merupakan hak pemkab/pemkot se-Lampung tersebut. Bahkan, tokoh senior Lampung, M. Alzier Dianis Thabranie, menyorong agar persoalan ini ditangani serius oleh aparat penegak hukum (APH), baik itu KPK, Mabes Polri, maupun Kejaksaan Agung.   “Kemana aliran dana itu terpakai? Jika memang ada penyalahgunaan harus diusut tuntas oleh aparat penegak hukum. Apalagi ini jelang Pilkada, dimana Arinal Djunaidi kembali maju Pilgub Lampung,” tegas Alzier, seraya mengatakan semua sama dimata hukum dan tidak ada yang merasa kebal hukum.   Lain lagi pendapat Direktur Masyarakat Peduli Demokrasi dan Hukum (MPDH) Provinsi Lampung, Jupri Karim. “Saya hanya ingin memberitahu petinggi-petinggi di Pemprov Lampung, bahwa DBH itu bukan dana buat hajatan. Tetapi dana bagi hasil, yang ketentuan pembagiannya sudah jelas diatur oleh pemerintah pusat,” kata Jupri Karim, seperti dikutip kbninewstex.com, Sabtu (11/5/2024) pagi.   Menurut aktivis antikorupsi ini, ia perlu memberitahu para petinggi prmprov bahwa DBH bukan dana buat hajatan, agar pikiran dan hati mereka kembali bersih, dan bisa menjalankan tugas sesuai ketentuan yang berlaku.   “Kalau selama ini pikiran dan hati para petinggi Pemprov Lampung itu bersih dan menjalankan tugas sesuai ketentuannya, tidak mungkin sampai menahan DBH senilai Rp 1,08 triliun seperti ini. Kenapa saya ingatkan kalau DBH bukan dana buat hajatan, karena kita kan mau ada hajatan politik. Mulai pilgub, pilbup, sampai pilwakot. Tidak salah kalau ada masyarakat yang berpikiran bahwa jangan-jangan DBH triliunan itu ditahan disebabkan mau dipakai buat hajatan politik. Nah, agar tidak semakin runyam persoalan DBH ini, ya sebaiknya Gubernur Lampung segera perintahkan anak buahnya buat merealisasikan pembagiannya. Jangan ditahan-tahan lagi, kan begitu juga yang direkomendasikan BPK,” urai Jupri Karim, melalui telepon. Ditambahkan, sudah seharusnya pemprov menggelontorkan DBH bagi 15 kabupaten/kota se-Lampung sesuai ketentuannya. Karena regulasinya memang demikian.   “Kita sebagai warga Lampung wajib berterimakasih kepada BPK yang sudah mau membuka borok pemprov selama ini. Walau kita juga heran, kenapa para bupati dan walikota tidak bersuara ke publik kalau DBH-nya ditahan pemprov. DBH itu kan kegunaannya banyak, bukan hanya untuk urusan internal pemerintahan tetapi juga menyangkut kepentingan masyarakat. Masak cuma Walikota Bandar Lampung saja yang berani berteriak soal ini. Kalau semua bupati dan walikota membuat surat bersama ditujukan ke Presiden dan Menteri Keuangan serta Mendagri, saya yakin tidak seperti ini kejadiannya,” imbuh Jupri Karim.   Bagi dia, kasus ditahannya DBH oleh Pemprov Lampung hingga mencapai Rp 1,08 triliun ini bukan sekadar persoalan administrasi keuangan. Namun, telah ada upaya “menghalang-halangi” kemajuan pada 15 kabupaten/kota.   “Dan selayaknya, APH melakukan penyelidikan terkait DBH, karena ini uang negara. Bukan mustahil, penggunaannya tidak sesuai ketentuan, atau bahkan disimpan di rekening tertentu. Kalau itu terbukti, maka telah masuk ranah indikasi tindak pidana tipikor. Semua petinggi pemprov yang terkait bisa dipidanakan,” ucapnya lagi.   Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kacaunya tata kelola keuangan di 15 pemerintah kabupaten dan kota se-Lampung sepanjang tahun 2023 dan awal 2024 ini –ternyata- tidak lepas dari masih ditahannya kucuran dana bagi hasil (DBH) yang seharusnya menjadi milik pemkab/pemkot oleh Pemprov Lampung. Akibat sikap tega pemprov yang menahan DBH tidak kurang dari Rp 1,08 triliun tersebut, semua bupati dan walikota mengeluh dan harus pontang-panting mencari solusi mengatasi pemberian gaji juga tunjangan kinerja alias tukin, serta insentif.   Di antaranya dialami oleh jajaran pejabat di Pemkab Pesawaran dan Lampung Utara (Lampura). Hingga awal Mei 2024, masih banyak ASN setempat yang belum menerima haknya, karena ketiadaan anggaran akibat DBH tidak juga dikucurkan oleh Pemprov Lampung.   Beberapa pejabat eselon II di Pemkab Pesawaran maupun Pemkab Lampura yang dihubungi Jum’at (10/5/2024) pagi, tidak menampik hal itu.   “Semua kegiatan belum bisa jalan dengan baik, karena kami masih menunggu turunnya DBH dari provinsi. Tidak tahu apa alasannya, sampai sekarang hak pemkab di tahun 2023 belum juga diberikan. Padahal, dari pusat sudah ditransfer,” kata seorang pejabat Pemkab Pesawaran. Hal senada diucapkan seorang kepala dinas di Pemkab Lampura. “Kondisi keuangan pemkab kami memang dalam situasi sulit, ditambah tidak mengucurnya DBH dari provinsi. Makin kebebes-lah kami-kami di Lampura ini. Apalagi, Pj Bupati juga sepertinya tidak punya keberanian untuk menekan pemprov agar segera menjalankan kewajibannya dalam urusan ini,” kata salah satu kepala “dinas basah” di lingkungan Pemkab Lampura tersebut.   Seperti diketahui, masih ditahannya DBH bagi 15 pemkab/pemkot se-Lampung oleh pemprov sebesar Rp 1,08 triliun itu dibuka terang-terangan oleh Auditor Utama Keuangan Negara (Tortama KN) V BPK RI, Slamet Kurniawan, pada Rapat Paripurna DPRD Lampung dalam rangka penyerahan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Perwakilan Provinsi Lampung atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi Lampung Tahun 2023 di, Rabu (8/5/204) lalu. Di depan Gubernur Arinal Djunaidi, Ketua dan anggota DPRD, serta seluruh jajaran pejabat eselon II dan III di lingkungan Pemprov Lampung, Slamet membongkar borok Pemprov Lampung selama ini.   Dengan suara lantang, Slamet Kurniawan memaparkan, bahwa pemprov masih memiliki utang jangka pendek, yakni utang DBH tahun 2023 yang belum dibayarkan pada pemerintah kabupaten/pemerintah kota sebanyak Rp 1,08 triliun.   Ironisnya, “Jumlah ini (Rp 1,08 triliun, red) meningkat signifikan dari tahun sebelumnya, yakni Rp 695,56 miliar,” ujar Slamet Kurniawan yang didengar langsung oleh Gubernur Arinal Djunaidi. Tidak hanya soal ditahannya DBH senilai Rp 1 triliun lebih saja yang dibongkar secara transparan oleh BPK. Tapi juga “dikuliti” lebih dalam borok yang ada selama ini. BPK menilai, dalam urusan penganggaran pendapatan asli daerah (PAD), Pemprov Lampung tidak melakukannya secara rasional, ditambah pengendalian belanja tidak sesuai skala prioritas.   Akibatnya, begitu beber Slamet Kurniawan, semakin berkurangnya kemampuan Pemprov Lampung untuk membayar DBH dan meningkatnya utang belanja dari Rp 93,78 miliar menjadi Rp 362 miliar. BPK tidak hanya membuka borok, tetapi juga memberi solusi. Menurut Slamet, Pemprov Lampung perlu melakukan manajemen keuangan secara memadai agar dapat menyalurkan dana bagi hasil kepada pemerintah kabupaten/kota secara tepat waktu dan mengurangi utang belanja saat ini.   “Prestasi opini WTP yang ke sepuluh kali secara berturut-turut, seharusnya menjadi motivasi bagi pemerintah daerah lain untuk terus meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan keuangan daerah,” sambungnya.   Diakui, BPK telah melakukan identifikasi terhadap beberapa area yang memerlukan perhatian lebih lanjut. Apa saja itu? Pertama: Penganggaran pendapatan tidak memadai dan tidak berdasarkan perkiraan yang terukur secara rasional dan dapat dicapai karena tidak melihat potensi dari realisasi tahun sebelumnya. Akibatnya, pelaksanaan belanja pemprov tidak didukung ketersediaan dana yang cukup.   Kedua: Ada 60 paket pekerjaan infrastruktur yang mengalami kekurangan volume sebesar Rp 3,29 miliar, dan yang tidak sesuai spesifikasi sebesar Rp 823 juta. Sedangkan yang belum dikenakan denda atas tiga paket pekerjaan yang terlambat, sebesar Rp 32,4 juta.   Ketiga: Pemprov terlambat menyalurkan dana bagi hasil pajak rokok triwulan 4 tahun 2023 sebesar Rp 80,05 miliar serta dana bagi hasil pajak daerah triwulan 2, 3, dan PBNKB untuk triwulan 1 tahun 2023 sebesar Rp 702 miliar. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content protected !!