Tintainformasi.com, Lampung —Dugaan praktik korupsi dilakukan oknum-oknum yang terorganisir terungkap di Dinas Kelautan dan Perikanan lingkup Pemerintah Provinsi Lampung, selasa (16/7/24).
Sebab dugaan praktik tindak pidana korupsi terungkap karena telah ditemukan kerugian negara sebesar Rp. 320.902.848,66 pada Tahun Anggaran (TA) 2023 di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung.
Diketahui, 3 Proyek kegiatan tersebut dibawah kepimpinan Kepala Dinas Ir. Liza Derni, M.M dan Zainal K, S.Pi., M.Ling selaku Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung.
Dilansir dari Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (LHP BPK RI) dengan nomor 8/LHP/XVIII.BLP/01/2024 tanggal 17 Januari 2024, pemeriksaan fisik secara uji petik dilakukan atas tiga paket pekerjaan pembangunan gedung dan bangunan, bersama PPK/PPTK, pelaksana pekerjaan, dan konsultan pengawas dengan nilai total kontrak sebesar Rp 8.128.196.000,00 yang dilaksanakan oleh penyedia jasa konstruksi berdasarkan kontrak.
Dengan dasar LHP BPK RI yang diterima redaksi tersebut, dugaan tindak pidana korupsi di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Lampung itu terjadi disebabkan oleh:
a. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Kepala Dinas BMBK tidak optimal dalam melaksanakan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan pada Satkernya.
b. Para Konsultan Pengawas terkait tidak melakukan pengawasan atas pelaksanaan pekerjaan di lapangan sesuai ketentuan.
c. PPK, pengawas teknis, dan Tim PHO pada Dinas terkait tidak cermat menguji perhitungan volume dan spesifikasi hasil pekerjaan sebagaimana di persyaratkan untuk penerimaan hasil pekerjaan.
d. Para Penyedia Jasa Konstruksi terkait tidak melaksanakan pekerjaan sesuai spesifikasi kontrak.
Upaya dugaan praktik korupsi tersebut dijelaskan dalam LHP BPK dengan rincian kekurangan volume sebesar Rp 247.130.628,13 dan tidak sesuai spesifikasi sebesar Rp73.772.220,53 atas tiga paket Pekerjaan Pembangunan Gedung dan Bangunan pada Dinas Kelautan dan Perikanan.
Berdasarkan hukum yang berlaku di Republik Indonesia, praktisi hukum Fitra Liana Suri, S.H.I., CM mengungkapkan kasus praktik korupsi proyek biasanya terjadi penyimpangan di tahap pengawasan, biasanya berupa (1) kolusi antara pelaksana proyek dan pengawasnya, (2) penyuapan kepada pengawas proyek, dan (3) laporan pengawas proyek yang tidak sesuai dengan hasil pekerjaannya.
“Adapun tahap terakhir, tahap pelaporan keuangan dan audit, praktik menyimpang yang ditemukan biasanya yaitu pelaporan tidak jujur dan meloloskan bukti-bukti akuntansi yang tidak benar”ungkap Advokat perempuan tersebut.
Praktisi hukum Fitra Liana Suri menerangkan juga secara primer, Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana.
“Lalu Subsider: Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHPidana” terangnya pada awak media.
Korupsi yang terkait dengan 0erbuatan curang, pengawas proyek membiarkan perbuatan curang adalah bentuk korupsi sesuai Pasal 7 ayat 1 huruf a undang-undang 31/1999 jo UU 20/2001 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
“Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan melakukan perbuatan curang”jelasnya.
Diterangkannya juga, untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut pasal ini, harus memenuhi unsur-unsur korupsi atau melakukan perbuatan curang pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan.
“Sesuai Pasal 7 ayat 1 huruf b UU 31/1999 jo UU 20/2001 (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 350 juta” katanya.
Lanjutnya, oknum yang terjerat korupsi lalu melakukan pengembalian uang ke negara tak menggugurkan indikasi pidana.
“Suatu kesalahan besar jika menganggap pengembalian uang hasil kejahatan dapat seketika menghapus jejak kejahatannya, karena hal itu ditegaskan eksplisit dalam ketentuan Pasal 4 UU 31/1999 tentang tipikor,” tandasnya. (Team)