BERITA

Eka Afriana Tak Hanya Manipulasi KTP dan Akte, Diduga Kuat Juga Palsukan Ijazah untuk Lolos CPNS

Icon Tintainformasi.com
9279
hjdtfyuskm5e6yuks5yueyhtkuhrkyryuk

BANDAR LAMPUNG, Tintainformasi.com — Skandal manipulasi identitas yang menjerat Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kota Bandar Lampung, Eka Afriana, kini semakin meluas. Tak hanya dugaan pemalsuan KTP dan Akte Kelahiran untuk memperlihatkan dirinya lebih muda tiga tahun, kini Eka Afriana juga diduga kuat memalsukan ijazahnya. Buktinya, nomor induk kepegawaian (NIP) miliknya, 19730425.200804..**, selaras dengan KTP dan akte yang telah dimanipulasi, menunjukkan tahun kelahirannya sebagai 1973. Padahal, sangat mencolok bahwa saudari kembarnya, Walikota Bandar Lampung Eva Dwiana, tercatat lahir pada tahun 1970.

Menurut sumber sebut saja Joni, Eka Afriana diduga memalsukan ijazahnya dengan tujuan memuluskan pendaftarannya sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) di Kabupaten Way Kanan pada tahun 2008. “Dia jelas memalsukan atau mengubah ijazahnya agar tampak lebih muda 3 tahun,” tegas sumber tersebut. “Sebab, usianya saat itu sudah 38 tahun, sementara batas usia pendaftaran CPNS hanya sampai 35 tahun.” Lebih lanjut, sumber mengungkapkan bahwa Eka konon melakukan pemalsuan ijazah tersebut di Pasar Pramuka, Jakarta, dengan biaya Rp 1 juta.

Sementara itu, ketika dikonfirmasi via WhatsApp mengenai dugaan pemalsuan tahun kelahiran pada ijazahnya, Eka Afriana memilih tidak merespons hingga berita ini diterbitkan.

Perlu diingat, pemalsuan dokumen resmi seperti KTP, akte kelahiran, dan ijazah untuk mendaftar CPNS merupakan pelanggaran berat terhadap beberapa pasal hukum Indonesia. Antara lain: Pasal 263 KUHP (pemalsuan dokumen resmi), Pasal 264 KUHP (penggunaan dokumen palsu), Pasal 35 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (pemalsuan ijazah), dan Pasal 62 UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (larangan merusak integritas ASN). Pelanggaran ini berisiko sanksi pidana penjara dan denda.

Sebelumnya, terungkap bahwa Eka Afriana, yang merupakan kembaran identik Walikota Eva Dwiana, diketahui memiliki data kelahiran yang tidak selaras. Berdasarkan data kependudukan, Walikota Eva lahir pada 25 April 1970, sedangkan Eka tercatat lahir pada tanggal yang sama di tahun 1973. “Perbedaan 3 tahun ini sangat aneh, terlebih adik mereka, Ernita, justru tercatat lahir di tahun 1972,” jelas sumber. “Logikanya, bagaimana mungkin adik lebih tua dari salah satu anak kembar? Apalagi Eka seharusnya adalah anak tertua.”

Menurut sumber, ketidaksesuaian identitas ini sangat berkaitan dengan proses pengangkatan Eka menjadi ASN pada 2008. “Sangat mungkin KTP-nya diubah karena batas usia CPNS saat itu 35 tahun, sementara jika lahir tahun 1970, usianya sudah 38 tahun,” urai sumber.

Ketika dikonfirmasi mengenai perbedaan identitas ini, Eka Afriana mengakui adanya perubahan tahun lahir pada dokumen kependudukannya dari 1970 menjadi 1973. Namun, dia membantah bahwa perubahan ini terkait pengangkatannya sebagai ASN. “Perubahan itu terjadi jauh sebelum tes CPNS, dan dilatarbelakangi oleh alasan kesehatan serta kepercayaan spiritual,” klaim Eka. Dia menjelaskan bahwa masa kecilnya sering dihantui sakit dan kesurupan, sehingga orang tuanya membawanya ke berbagai kiai. “Akhirnya, Bapak saya memutuskan untuk ‘mengubah’ saya agar lebih mudah disembuhkan. Jadi, tahun lahir saya pun diganti,” kata Eka. Dia menegaskan tidak bermotivasi memanfaatkan perubahan ini untuk lolos batas usia CPNS.

Meskipun demikian, pengakuan Eka justru memunculkan lebih banyak pertanyaan publik. Bagaimana mungkin anak kembar (Eka dan Eva) memiliki tahun lahir berbeda? Terlebih lagi, adik mereka (Ernita) justru lahir di tahun 1972, lebih tua dari tahun lahir Eka yang sekarang (1973). Ketidakwajaran biologis ini memicu spekulasi kuat bahwa pemalsuan data dilakukan untuk kepentingan administratif.

Eka juga mengakui bahwa perubahan dokumen seperti akta kelahiran dan KTP tidak dilakukan melalui prosedur resmi. “Keluarga saya, termasuk ibu dan paman, mengetahui dan mendukung keputusan ini,” ujarnya. Namun, dia menyatakan ijazah SD, SMP, dan SMA-nya masih menggunakan data asli. Ketika ditanya tentang risiko hukum, Eka menjawab, “Iya, saya tahu itu ada pidananya. Tapi saat itu saya hanya ikut perintah orang tua. Saya juga ikut tes CPNS tanpa keyakinan diterima, sambil menggendong bayi saya dan sudah punya usaha.”

Pengakuan ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang etika pejabat publik. Bagaimana bisa seorang pemimpin dinas pendidikan menghindari prosedur hukum untuk perubahan data vital? Lebih penting lagi, bagaimana proses seleksi administrasi ASN bisa meloloskan kejanggalan yang begitu nyata?

Di sisi lain, Eka menampik keras dugaan adanya intervensi keluarga atau relasi kuasa dalam pengangkatannya sebagai ASN. Dia juga menyatakan tidak pernah mengklaim dirinya kembaran Eva Dwiana secara publik. Namun, kemiripan fisik dan hubungan keluarga mereka tentu sulit diabaikan publik.

Hingga kini, Pemerintah Kota Bandar Lampung dan Badan Kepegawaian Nasional belum memberikan tanggapan resmi terkait keabsahan data Eka Afriana. Yang jelas, kasus ini menyingkap betapa rentannya sistem birokrasi terhadap manipulasi data, terutama jika melibatkan individu dengan kedekatan pada lingkar kekuasaan. (**)

Exit mobile version