Tintainformasi.com, Bandar Lampung – Di sebuah sudut kota yang kini padat beton dan bising knalpot, ada sebuah perempatan yang dulu menjadi simpul kehidupan: Jalan Kartini dan Jalan Pemuda, Bandar Lampung. Tak banyak yang tahu, tempat itu dahulu bukan sekadar titik temu kendaraan, melainkan ruang berkumpul, berbagi cerita, dan mencatat sejarah kecil yang hangat.
Seniman Bambang SBY, mengabadikan ruang itu dalam lukisan bertajuk “Perempatan Jl. Kartini dan Jalan Pemuda Kota Bandar Lampung Tempo Doeloe.” Namun karya ini bukan hanya gambar, ia adalah tubuh kenangan yang dihidupkan kembali dengan warna, komposisi, dan ingatan yang masih utuh disimpan di hati.
“Di pas hook Jl. Pemuda itu ada Toko Harmoni, tempat kami sering mampir,” ujar Bambang dalam percakapan hangat bersama Junaidi Ismail, Minggu (27/7/2025). “Toko itu milik Haji Iskandar, penyanyi rock legendaris asal Lampung. Di situ kami ngobrol—tentang agama, musik rock, bahkan soal hidup. Itu tempat belajar diam-diam.”
Dalam lukisan berukuran 50 x 70 cm itu, sebuah mobil klasik hitam melaju dari arah berlawanan—sebuah keputusan artistik yang sengaja dibuat untuk kepentingan komposisi visual. Jalan tampak lapang, belum dipenuhi baliho dan jalur beton. Di kanan jalan, berdiri toko tua beratap genteng dan jendela kayu. Semuanya terbungkus cahaya keemasan senja yang memberi rasa tenang dan teduh, seolah waktu enggan bergulir.
Yang membuat lukisan ini lebih dari sekadar visual adalah teknik pewarnaan yang dipilih Bambang. Ia menggunakan Swarna Tirta Jenggala—rangkaian warna yang berasal dari racikan air kopi dan pigmen-pigmen alam. “Saya ingin warnanya punya ruh. Kopi itu pekat, pahit, tapi hangat. Seperti kenangan kita terhadap kota ini.” ujarnya.
Bambang tak sekadar melukis. Ia berdoa lewat warna. Setiap guratan adalah tafsir atas ruang dan zaman. Ia bukan hanya memanggil kembali lanskap fisik, tapi juga memunculkan kembali suasana batin sebuah kota yang dulu hidup dari interaksi sosial yang jujur dan tulus.
Di sudut lukisan itu, toko karpet milik Haji Iskandar seolah menjadi penanda waktu. Sosok Haji Iskandar, yang semasa mudanya dikenal sebagai penyanyi rock, menjadi benang merah antara seni, spiritualitas, dan kultur jalanan di Lampung. “Beliau bukan sekadar pedagang. Beliau punya energi yang selalu kami cari,” kenang Bambang.
Melalui karya ini, Bambang mengirim pesan lirih kepada generasi kini: bahwa kota bukan sekadar pembangunan fisik. Kota adalah ruang batin yang hidup dari kenangan, obrolan, pertemuan, dan keintiman yang tak bisa dibangun ulang oleh semen dan aspal.
“Saya ingin anak muda tahu, bahwa kita pernah punya simpul-simpul hangat seperti ini. Kota ini punya napas,” ujarnya.
Lewat Perempatan Jl. Kartini dan Jalan Pemuda, Bambang bukan hanya melukis sebuah sudut kota. Ia mengajak kita pulang ke ruang yang telah lama kita tinggalkan, baik secara fisik maupun secara emosional. Dan barangkali, melalui warna dan kenangan itu, kita bisa kembali belajar melihat kota dengan hati. (Hadi Hariyanto).