BERITAHUKUM & KRIMINALLampung BaratPolda LampungPOLRI

Petani Kopi Lampung Barat Bangkit Menggugat Polda Lampung Di Pengadilan Negeri

818

Tintainformasi.com, Bandar Lampung — Ketika hukum tak lagi berpihak pada kebenaran, rakyat dipaksa mencari keadilan di tengah kebisuan aparat. Itulah yang dirasakan puluhan petani kopi dari Air Hitam, Kabupaten Lampung Barat, yang terpaksa menggugat Polda Provinsi Lampung ke Pengadilan Negeri Tanjungkarang lewat jalur praperadilan.

Sidang perdana yang digelar pada Senin, 7 Juli 2025, justru menjadi ironi. Polda sebagai pihak termohon tidak siap menjawab gugatan. Sidang pun ditunda. Keadilan kembali ditunda. Dan rakyat kecil kembali dikhianati.

Padahal, laporan dugaan penipuan kopi sudah dilayangkan secara resmi. Bukti kerugian jelas. Unsur pidana terpenuhi. Tapi penyidik memilih menghentikan penyelidikan. Tanpa penjelasan yang layak.

“Kami Lapor, Malah Dihentikan”
Perwakilan korban, Husain dan Rozikin, menyampaikan jeritan hati mereka usai sidang. Suara mereka lirih, tapi tegas: ini bukan sekadar gugatan. Ini perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan yang dilembagakan.

“Kami hanya rakyat kecil, petani kopi. Kami sudah serahkan kopi, tapi tidak dibayar. Saat kami lapor, malah kasusnya dihentikan. Kami minta tolong… kami hanya ingin keadilan,” kata Husain, nyaris menangis.

Mereka pun menyerukan permohonan kepada Presiden Republik Indonesia dan Kapolri, agar kasus ini tidak dikubur begitu saja. Karena bagi mereka, ini bukan soal kopi ini soal harga diri.

Korban Banyak, Polisi Diam
Kasus ini bukan hanya menyasar dua atau tiga orang. Sedikitnya tujuh nama tercatat sebagai korban resmi, dan masih banyak lainnya yang belum berani bersuara:

  1. Rozikin
  2. Sain
  3. Dedek Mustopa
  4. Sulaiman
  5. Joko
  6. Sardi Samsul
  7. Iswan
    (dan puluhan korban lainnya)

Nilai kerugian diperkirakan miliaran rupiah, hasil panen yang dirampas tanpa dibayar.
Kuasa Hukum: “Kalau Tak Ada Keadilan, Kami Naik ke Istana”
Kuasa hukum korban, Andi A. Falki, S.H., C.L.A., C.L.I., menyebut penundaan sidang adalah bentuk penghindaran tanggung jawab hukum oleh Polda.

“Hari ini gelar sidang pertama, tapi ditunda karena Polda belum siap menjawab. Ini jelas menunjukkan minimnya keseriusan aparat dalam menyelesaikan perkara rakyat kecil,” katanya tajam.

Ia menegaskan, jika tidak ada perkembangan berarti, pihaknya siap mengawal kasus ini hingga ke lembaga tinggi negara.

Hukum: Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas?
Kasus ini adalah cermin buram wajah penegakan hukum kita. Petani yang berteriak keadilan dipaksa mencari jalan sendiri. Aparat yang seharusnya melindungi malah bungkam. Dan penjahat berseragam bebas tersenyum di luar sana.

Pertanyaannya: sampai kapan hukum dibiarkan menjadi panggung sandiwara.

Budiman Pangestu

Exit mobile version