Lampung

Maraknya bullying di Perguruan Tinggi Oleh : Arkaan Fadhlurrahman, Nabila Putri Komala Sari, Rezky Morales Sitanggang (Mahasiswa Fakultas Hukum UBL)

354
×

Maraknya bullying di Perguruan Tinggi Oleh : Arkaan Fadhlurrahman, Nabila Putri Komala Sari, Rezky Morales Sitanggang (Mahasiswa Fakultas Hukum UBL)

Sebarkan artikel ini

TINTAINFORMASI.COM, LAMPUNG —Saat ini kejadian bullying tidak hanya terjadi ditengah masyarakat saja bahkan kini kejadian bullying terjadi di Pengguruan Tinggi, dengan adanya beberapa kejadian bullying di Perguruan Tinggi menunjukan bahwa perilaku negatif ini dapat terjadi dimana saja dan dapat menimpa siapa saja.

Perguruan Tinggi sebagai satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi dan dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas, maka perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Scroll Untuk Baca Artikel
ADVERTISEMENT

Pengertian bully dalam bahasa Indonesia adalah perundungan atau rundung, sehingga dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi kelima, kata rundung memiliki arti mengganggu, mengusik terus-menerus dan menyusahkan. Menurut American Psychatric Association (APA) bahwa Bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikan dengan tiga kondisi, pertama, perilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan, kedua, perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu, ketiga adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat.

Bullying tersebut lebih dapat menjadikan korban trauma, cemas dan sikap-sikap yang membuat tidak nyaman. Tindakan bullying memiliki kesamaan dengan agresif yakni melakukan tindakan penyerangan kepada orang lain. Fenomena bullying akhir-akhir ini banyak sekali terjadi di Perguruan Tinggi, hal ini menjadi masalah yang cukup serius dan tidak boleh dianggap remeh baik oleh korban maupun pelaku.

Pada dasarnya dalam konteks ini penyebab bullying mulai dari pergaulan yang tidak baik hingga kurang empati, bullying dapat menimbulkan trauma, psikologis atau luka batin, baik pada korban maupun pelaku.

Pada tahun 2017 terjadi kasus perilaku bullying yang terjadi di Universitas UG, korban di bully oleh tiga belas mahasiswa lain, video kasus perilaku bullying ini tersebar dimedia sosial dan membuat kasus perilaku bullying di lingkungan kampus menjadi perhatian di masyarakat.

Pada September 2020 kasus perilaku bullying terjadi di Universitas UNS, dari video yang beredar terlihat korban menerima kekerasan verbal dari kakak tingkatnya pada masa orientasi mahasiswa baru. Bullying dilingkungan kampus terjadi juga di Makassar, video viral tersebut diunggah di akun twitter @heraloebss. Terlihat dalam video tersebut mahasiswa baru dikeroyok sejumlah orang dikampus tersebut.

Pada tahun 2023 terdapat juga kasus terbaru yang kita ketahui dan kita dengar di salah satu kampus di Bandar Lampung terjadinya penganiayaan terhadap junior hingga babak belur, hal ini disebabkan pelaku meminjam korek api dari korban dan tidak dikembalikan karena alasan hilang, korban lalu memberikan lagi koreknya satu lagi, sambil mengumpat. Disitulah para pelaku tersinggung dan menganiaya korban. Akibat kejadian tersebut, korban mengalami memar dikepala dan bibir korban berdarah, sehingga perbuatan pelaku dilaporkan di kepolisian.

Di era serba digital tentunya sudah tidak asing lagi kasus-kasus bullying yang terjadi di Indonesia. Sejak tahun 2016, berdasarkan hasil simposium UNICEF yang dihadiri 100.000 remaja dari delapan belas (18) negara menunjukkan bahwa dua pertiga remaja yang hadir terlibat dalam perilaku bullying.

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2011 hingga 2018, kasus perilaku bullying yang terjadi dilingkungan pendidikan di Indonesia berada pada tingkat teratas pengaduan masyarakat yakni sebesar 48% dari 3.474 kasus di bidang pendidikan. Tahun 2016, KPAI menunjukkan adanya 131 kasus pengaduan terkait remaja sebagai pelaku bullying, kemudian mengalami penurunan pada tahun 2017 menjadi 116 kasus.

Pada tahun 2019, KPAI kembali merilis jumlah kasus pengaduan di bidang pendidikan terkait remaja sebagai pelaku perilaku bullying meningkat kembali menjadi 127 kasus pada tahun 2018. Selain Bullying dikampus KPAI mencatat terdapat sebanyak 2.355 pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI hingga Agustus 2023. Dari jumlah tersebut rinciannya yaitu anak sebagai korban bullying atau perundungan 87 kasus, anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, anak korban kebijakan pendidikan 24 kasus, anak korban kekerasan fisik atau psikis, 236 kasus, anak korban kekerasan seksual 487 kasus, serta masih banyak kasus lainnya yang tidak dilaporkan melalui KPAI.

Ada beberapa dampak bullying yang timbul terhadap diri sendiri diantaranya, pertama, kurangnya motivasi diri, perundungan emosional dan mental dapat menyebabkan gangguan emosi dan mental pada korbannya. Mereka mungkin mengalami kecemasan, depresi, stres dan kehilangan kepercayaan diri. Penindasan juga dapat menyebabkan isolasi sosial, perasaan kesepian, dan penurunan kualitas hidup secara keseluruhan.

Kedua, masalah kesehatan mental Korban, bullying mempunyai risiko lebih tinggi terkena masalah kesehatan mental seperti gangguan kecemasan, gangguan suasana hati dan gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia, beberapa korban bahkan mungkin mengalami pikiran atau perilaku untuk bunuh diri.

Ketiga, gangguan fisik, Bullying dapat menyebabkan cedera fisik pada korbannya, baik secara langsung melalui kekerasan fisik maupun tidak langsung melalui stres kronis, cedera tubuh bisa berupa memar, hingga cedera yang lebih serius. Selain itu, stres yang berkepanjangan dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan meningkatkan risiko penyakit fisik.

Keempat, gangguan prestasi Akademik Korban bullying seringkali mengalami kesulitan berkonsentrasi, belajar dan berpartisipasi dalam lingkungan akademik, hal ini dapat menyebabkan prestasi akademis yang buruk, tingkat ketidakhadiran yang tinggi, dan berkurangnya minat terhadap pendidikan.

Kelima, gangguan hubungan dan sosial, Bullying dapat merusak hubungan sosial korbannya, mengalami kesulitan mempercayai orang lain, menjalin persahabatan atau berinteraksi secara sosial, hal ini dapat berdampak jangka panjang pada kualitas hubungan dan interaksi sosial mereka di masa depan.

Beberapa sanksi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat dikenakan untuk menjerat pelaku bullying atau diskriminasi, diantaranya pertama, Pasal 351 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHP tentang Penganiayaan yang diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah dan jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.

Kedua, Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan yang menjelaskan barangsiapa yang di muka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan.
Ketiga, Pasal 335 KUHP tentang pengancaman dengan ancaman maksimal sembilan (9) bulan pidana penjara atau denda empat ribu lima ratus rupiah. Pasal ini dapat diterapkan apabila pelaku bullying melakukan kekerasan psikis terhadap korban, seperti mengancam akan membunuh, melukai, atau merugikan korban atau keluarganya.

Keempat, Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Selain KUHP, terdapat juga Undang-Undang khusus yang mengatur tentang bullying untuk anak-anak yakni UU perlindungan anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ketentuan didalam UU ini melarang setiap orang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. UU ini juga mengatur beberapa bentuk kekerasan terhadap anak yang telah disebutkan sebelumnya, seperti kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan sosial budaya.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa hukuman bagi pelaku bullying dapat bervariasi tergantung pada jenis, tingkat dan dampak kekerasan yang dilakukan. Hukuman tersebut dapat berupa pidana penjara, denda, atau keduanya. Hukuman tersebut bertujuan untuk memberikan efek jera bagi pelaku bullying dan memberikan keadilan bagi korban bullying. Pada dasarnya, hukuman saja tidak cukup untuk mencegah dan mengatasi bullying di lingkungan sekolah dan masyarakat, perlu adanya upaya-upaya lain yang melibatkan semua pihak terkait, seperti guru, orang tua, siswa, pemerintah, dan lembaga perlindungan anak.

Penanganan kasus bullying di Pengguruan Tinggi sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua mahasiswa. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil dalam menciptakan kampus bebas bullying, yakni pertama, identifikasi dan tanggapi, pihak Kampus harus memiliki kebijakan yang jelas tentang cara melaporkan kasus bullying. Mahasiswa yang menjadi korban atau saksi hendaknya merasa nyaman untuk melaporkan apa yang terjadi.

Kedua, investigasi, setelah menerima laporan, pihak kampus harus melakukan penyelidikan menyeluruh untuk memahami apa yang terjadi. Ini dapat melibatkan wawancara dengan semua pihak yang terlibat dan mengumpulkan bukti. Ketiga, konseling dan dukungan korban bullying membutuhkan dukungan psikologis dan emosional. Kampus harus menyediakan layanan konseling dan dukungan yang sesuai.

Keempat, tindakan disiplin, apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti-bukti pelanggaran maka pelakunya harus dikenakan tindakan disiplin sesuai peraturan kampus. Kelima, pencegahan, kampus juga harus fokus pada pencegahan bullying atau perundungan dengan mendidik mahasiswa tentang konsekuensi dari perilaku ini dan mendorong toleransi dan rasa hormat terhadap keberagaman.

Keenam komunikasi, kampus harus secara transparan menginformasikan kepada semua pihak mengenai tindakan yang dilakukan dan hasil kajiannya. Dan ketujuh, perbaikan kebijakan, kampus harus terus memeriksa dan memperbarui praktik anti-pelecehan agar lebih efektif dalam mencegah insiden tersebut. Serta kedelapan, kolaborasi atau kerjasama dengan pihak luar kampus juga dapat bekerja sama dengan lembaga eksternal, untuk mendapatkan bantuan dan saran tambahan dalam menangani kasus bullying.

Idealnya bullying di Perguruan Tinggi tidak pernah terjadi mengingat rata-rata usia yang lebih dewasa dan matang. selain itu di Perguruan Tinggi adalah tahap untuk menjadi lebih baik dengan pola pikir yang lebih dewasa. tidak seharusnya sesama mahasiswa melakukan aksi bullying, seharusnya mahasiswa lebih meningkatkan relasi dengan mahasiswa lain untuk menata masa depan yang lebih baik.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *