Bandar LampungLampungLampung Timur

Menggugat Konsistensi Tokoh Adat Buay Beliuk Negeri Tua Lampung Timur

33
×

Menggugat Konsistensi Tokoh Adat Buay Beliuk Negeri Tua Lampung Timur

Sebarkan artikel ini

Tintainformasi.com, Bandar Lampung–Sebenarnya saya malas mengulas masalah terkait topik di atas ini. Di samping berpotensi menimbulkan gesekan pemikiran di masyarakat, juga karena tidak ada kepentingan bagi saya secara pribadi. Selain itu, saya memiliki hubungan baik secara personal dengan penyimbang (ketua) tokoh adat Buay Beliuk Negeri Tua, Sdr. Azoheiri, yang merupakan mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Lampung Timur.

Namun penulisan artikel ini seyogyanya dilakukan dalam rangka menyibak tirai pandora yang melingkupi kasus dugaan pengrusakan papan bunga di Polres Lampung Timur yang sedang saya (bersama Edi Suryadi dan Sunarso) hadapi saat ini. Salah satu pengirim papan bunga ke Polres Lampung Timur yang diperkarakan tersebut tertulis “Tokoh Adat Buay Beliuk Negeri Tua” pimpinan Sdr. Asoheiri.

Scroll Untuk Baca Artikel
Tour Travel
ADVERTISEMENT

Perlu dijelaskan bahwa di saat merebahkan (bukan merusak seperti yang dikampanyekan oleh oknum Polres Lampung Timur selama ini) papan bunga di depan pagar dekat gerbang masuk Mapolres, saya tidak sempat melihat pengirim papan bunga itu. Saya hanya berpedoman pada dua papan bunga yang direbahkan sebelumnya di halaman gedung utama Mapolres yang nama pengirimnya tidak jelas, hanya tertulis “Masyarakat Lampung Timur” dan “Hamba Allah yang Tersakiti”. Saya berpikir bahwa semua papan bunga yang terpasang di Mapolres saat itu adalah buah tangan rekayasa oknum Polres yang meminta dikirimi papan bunga dari bohir (sponsor) mereka, yakni oknum terduga tukang selingkuh yang melaporkan Pimred Media Online Resolusitv.com, Muhammad Indra.

Sebagaimana diketahui bahwa Muhammad Indra dilaporkan dengan delik pemerasan oleh kerabat dekat Bupati Lampung Timur bernama Muhammad Rio terkait penayangan berita dugaan perselingkuhan oknum tersebut di media Resolusitv.com. Berdasarkan hasil penelusuran lapangan dan konfirmasi ke beberapa pihak terkait, termasuk ke Kapolres Lampung Timur AKBP Zaky Alkazar Nasution, saya kemudian me-release berita sebagai counter opinion atas pemberitaan menyesatkan yang dikeluarkan Polres Lampung Timur.

Merespon berita sanggahan dari saya sebagai Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) tersebut, diduga kuat oknum Polres Lampung Timur menggunakan papan bunga ucapan selamat dan sukses kepada Polres Lampung Timur untuk membangun opini masyarakat bahwa tindakan menangkap wartawan Muhammad Indra yang mereka lakukan sudah benar dan sesuai aturan yang berlaku.

Kembali ke topik papan bunga yang diklaim sebagai kiriman tokoh adat Lampung Timur, saya mengetahui pihak pengirimnya setelah menonton video peristiwa perebahan papan bunga di depan Mapolres itu.

Dari video dan foto yang beredar luas, saya kemudian berandai-andai bahwa jika ada pihak yang mempersoalkan peristiwa di Mapolres pada Jumat, 11 Maret 2022, itu, hampir pasti mereka adalah dari pihak tokoh adat (yang tertulis di papan bunga) dan/atau pihak Polres Lampung Timur.

Oleh karena itu, pertanyaan singkat saya ke segerombolan oknum polisi Lampung Timur yang datang ke Polda Lampung untuk menangkap saya pada Sabtu, 12 Maret 2022, adalah: “Siapa yang melapor?” Para oknum itu terlihat gelagapan serta bingung, dan menjawab sekenanya: “Ada Pak!” Saya terus mendesak menanyakan siapa yang melapor.

Akhirnya mereka menjawab bahwa yang melaporkan saya adalah tokoh adat Lampung Timur yang dirusak papan bunganya. Saya puas dengan jawaban itu dan bersedia ikut dengan para oknum polisi tersebut ke Mapolres.

Ketika masuk ke dalam mobil polisi, saya kemudian menyimpulkan bahwa masalah utama yang dipersoalkan oleh Polres Lampung Timur adalah perkataan saya yang menyinggung perasaan mereka. Dari perkataan dan bentakan-bentakan para oknum polisi yang menyeret dan memborgol saya, terlihat jelas bahwa perkara “celana dalam polisi dibeli dari uang rakyat” yang saya ucapkan di Mapolres sehari sebelumnya, itulah yang menjadi pangkal masalah. Tapi, saya diam saja dan tidak merespon sama sekali cacian mereka terhadap saya karena ucapan tersebut.

Selama di perjalanan ke Mapolres Lampung Timur saya sempat menyampaikan permintaan ke polisi-polisi itu agar saya dapat dipertemukan dengan para tokoh adat yang merasa dirugikan oleh tindakan saya.

Setiba di Mapolres, saya sampaikan kembali keinginan saya untuk bertemu tokoh adat yang kebetulan saat itu ada di antara warga yang berkumpul di Mapolres. Sekitar 30-an menit kemudian Penyimbang Adat Buay Beliuk Negeri Tua Lampung Timur, Sdr. Azoheiri dibawa masuk ke ruang reskrim untuk bertemu dan berbincang dengan saya. Jam saat itu sekira pukul 19.00 wib.

Sejujurnya, hati saya berbunga-bunga ketika bertemu sang ketua tokoh adat tersebut. Saya berkeyakinan bahwa beliau adalah sosok yang tepat untuk menyelesaikan kekisruhan yang terjadi ini. Saya punya harapan besar saat itu karena di samping Sdr. Azoheiri sebagai pelapor dan pihak yang dirugikan, saya juga memiliki kesempatan untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Saya berharap bahwa ketika kami sudah saling memberikan penjelasan, sang Penyimbang Tokoh Adat Azoheiri akan membuka ruang perdamaian dan mencabut laporannya.

Sayang sekali, waktu yang diberikan untuk pertemuan itu sangat terbatas, tidak lebih dari 10-an menit. Dalam pertemuan singkat yang diawasi ketat oleh beberapa oknum polisi itu, saya hanya sempat mengucapkan terima kasih kepada Bang Azoheiri atas perkenannya bertemu saya, dan menyampaikan permohonan maaf atas peristiwa perebahan papan bunga tokoh adat tersebut.

Sesungguhnya tidak ada maksud sedikitpun untuk menyinggung dan menyakiti hati para tokoh adat dan masyarakat Lampung Timur. Waktu selebihnya, saya hanya menyimak pembicaraan dari Ketua Tokoh Adat, Azoheiri, itu.

Saya ingat betul perkataan Bang Azoheiri malam itu. Dia mengatakan seandainya saya menghubunginya terlebih dahulu, tentu keadaan tidak akan serumit ini. “Coba kalau Bang Lalengke kontak saya dulu, pasti keadaan tidak seperti ini,” katanya. Dia kemudian menjelaskan hubungan antara dirinya dengan Muhammad Indra dan dengan Muhammad Rio. “Untuk Bang Lalengke ketahui, Indra itu panggil ayah sama saya, dia anak saya. Dan Rio panggil paman ke saya, dia ponakan saya,” demikian tutur Azoheiri.

Hati saya yang sedang berbunga-bunga langsung berputik pertanda bakal berbuah mendengar penjelasan sang tokoh adat itu. Saya selanjutnya meminta beliau untuk berkenan membantu menyesaikan kasus Muhammad Indra dan memfasilitasi saya bertemu dengan beliau dan tokoh adat lainnya setelah persoalan saya dan kawan-kawan selesai.

Azoheiri merespon singkat akan mengupayakan semaksimal mungkin permintaan saya. Kami kemudian berpisah saat beliau diminta polisi untuk meninggalkan ruangan segera. Sebelum beranjak pergi, Azoheiri menyempatkan meminta untuk foto selfie dengan saya yang selanjutnya foto tersebut diunggah di akun media sosialnya.

Sebagaimana diketahui, saya kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pengrusakan dan ditahan di Polres Lampung Timur, terhitung mulai hari Minggu, 13 Maret 2022, sekitar pukul 03.00 wib.

Melihat perkembangan itu, hati saya yang tadinya berbunga-bunga berangsur layu dan seakan pupus harapan. Namun demikian saya wajib memelihara semangat dan pengharapan agar pikiran tetap tenang, damai, dan bersuka-cita, walau keberuntungan sedang jauh dari jangkauan.

Senin, 14 Maret 2022, saya bertemu lagi dengan Penyimbang Adat, Sdr. Azoheiri, pada acara press conference yang digelar di depan Mapolres Lampung Timur. Dalam press conference itu saya dan Azoheiri bergantian memberikan pernyataan di depan para wartawan setelah Kapolres Zaky Nasution memberikan pernyataan pers terkait kasus yang mendudukkan saya beserta Edi Suryadi dan Sunarso sebagai tersangka. Saya menyampaikan permohonan maaf, Azoheiri menyatakan memberikan maaf.

Komitmen untuk menyelesaikan masalah secara damai dipertegas lagi saat Azoheiri didampingi tokoh pemuda bernama Benny menjumpai saya di ruang kerja Kapolres selepas press conference. Keinginan penyelesaian damai juga disampaikan tokoh adat dan tokoh pemuda itu ketika bertemu Tim Penasehat Hukum PPWI, Ujang Kosasih, SH, di Mapolres di hari yang sama, Senin (14 Maret 2022).

Akan tetapi setelah itu, di hari berikutnya semua berubah total, berbalik 180 derajat. Sang penyimbang adat Azoheiri terkesan diserang amnesia, lupa atas ucapan dan janjinya untuk membantu menyelesaikan masalah ini dengan jalan damai.

Pada episode berikutnya, saya tahu bahwa tokoh adat itu tidak dapat berbuat banyak karena ternyata yang membuat laporan tentang perkara dugaan pengrusakan papan bunga tokoh adat adalah Syarifudin bin Ahmad Junaidi yang adalah anggota Polres Lampung Timur.

Berdasarkan fakta tersebut, terang-benderang terlihat bahwa para oknum Polres itu sangat bernafsu memenjarakan saya, yang dapat dipastikan karena sakit hati atas ucapan saya soal “celana dalam polisi dibeli dari uang rakyat”.

Walaupun untuk itu mereka harus membayar mahal dengan meniru anjing kurap yang menjilat muntahannya sendiri, yakni mengingkari janji Kapolres untuk memberikan penangguhan penahanan kepada saya dan kawan-kawan yang diucapkannya di ruang kerja Kapolres pada Senin, 14 Maret 2022.

Pada acara restorative justice yang digelar di Kejaksaan Negeri Lampung Timur, Jumat, 8 April 2022, inkonsistensi Ketua Tokoh Adat Buay Beliuk Negeri Tua itu terkonfirmasi dengan pasti. Pasalnya, Sdr. Azoheiri, didukung oleh koleganya tokoh pemuda, Sdr. Benny, dengan bahasa yang dikemas sedemikian rupa menyatakan menolak berdamai. Penyimbang tokoh adat itu seia-sekata dengan pelapor Syarifudin bin Ahmad Junaidi mendesak Kejari memproses kasus ini hingga ke pengadilan.

Kejanggalan kemudian terjadi, dalam berkas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas kasus hukum pelanggaran pidana Pasal 170 KUHP tentang Pengrusakan, tokoh adat yang sejak awal digaungkan sebagai pihak yang dirugikan justru hilang dari peredaran. Yang dimunculkan oleh JPU sebagai pihak yang dirugikan adalah para pemilik usaha papan bunga atas nama Wiwik Sutinah binti Slamet dan Julius binti Yusuf. Wiwik pemilik usaha AL & EL Florist mengaku dirugikan Rp. 6 juta, sementara Julius pemilik usaha Sanjaya Florist mengklaim rugi Rp. 3 juta dalam peristiwa Jumat kelabu di Mapolres Lampung Timur.

Jika umur panjang, sang waktu mempertemukan saya dengan Sdr. Azoheiri suatu hari nanti, saya hanya akan menanyakan satu hal terkait kasus perusakan papan bunga itu: manakah di antara tiga pernyataan ini yang benar? Pertama, bahwa Tokoh Adat Buay Beliuk Negeri Tua Lampung Timur berperan sebagai pemain utama bersama Polres Lampung Timur; atau kedua, bahwa Tokoh Adat Buay Beliuk Negeri Tua Lampung Timur diminta bermain oleh Polres Lampung Timur; atau ketiga, bahwa Tokoh Adat Buay Beliuk Negeri Tua Lampung Timur dipermainkan alias dijadikan kuda tunggangan oleh Polres Lampung Timur. Walahualam bisawab!

Selamat Hari Raya Idulfitri, 1 Syawal 1443 H sahabatku Bang Azoheiri, minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin. Semoga Tuhan memberkati engkau dan melindungi engkau; Tuhan menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; Tuhan mengarahkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera. Aminnn YRA. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *