Lampung

Hadapi Masa Transisi Pemerintahan Tahun 2024, Tahun 2023 Tentukan Perjalanan Politik Demokrasi yang Lebih Dewasa

43
×

Hadapi Masa Transisi Pemerintahan Tahun 2024, Tahun 2023 Tentukan Perjalanan Politik Demokrasi yang Lebih Dewasa

Sebarkan artikel ini

TintaInformasi.com,Lampung—Tahun 2023 menentukan sejauh mana pergantian kekuasaan berjalan dalam demokrasi yang lebih dewasa. Politik Pilkada tidak boleh mengabaikan perlindungan dan pemenuhan hak warga, tidak kehilangan harapan akan perbaikan.

Tahun 2023, saat dunia diprediksi memasuki resesi dan Indonesia mengalami perlambatan ekonomi, dinamika politik menghadapi Pilkada akan sangat tinggi. Ini mesti diantisipasi karena konsekuensinya memengaruhi banyak perkara: dari kesejahteraan dan layanan untuk warga hingga tata kelola hidup bernegara.
Tahun depan menandai mulainya transisi pemerintahan. Ibarat tegangan: antara mengejar kepentingan politis dan memastikan penyelenggaraan teknokratis bernegara. Tahun 2023 amat menentukan sejauh mana pergantian kekuasaan berjalan dalam demokrasi yang lebih dewasa.
Sebab, urusan Pilkada tidak boleh mengabaikan perlindungan dan pemenuhan hak warga serta membuat mereka kehilangan kepercayaan kepada pemerintahan, apalagi harapan akan perbaikan.

Memahami keadaan dan menentukan sikap di tahun transisi ini penting. Sebab, yang dipertaruhkan bukan hanya keberlangsungan jalannya pemerintahan, melainkan juga masa depan Lampung.

Menerawang 2023

Setelah porak-poranda karena wabah, ekonomi global diperparah gejolak politik-keamanan, mulai dari Eropa hingga Asia Pasifik. Pasar keuangan dunia mengalami penyesuaian paling menyakitkan sejak krisis 2007-2008 (The Economist, 29/9/2022). Dampak perang Rusia-Ukraina, pengetatan moneter global, dan perlambatan ekonomi China menekan pertumbuhan ekonomi dunia (Economist Intelligence Unit, 2022).

Meski demikian, ekonomi domestik kita ”hanya” akan mengalami perlambatan karena derajat integrasi ke ekonomi global relatif rendah. Tetapi, perlu diperhatikan dampaknya pada lemahnya nilai tukar rupiah, risiko kredit bermasalah, dan tantangan moneter lainnya.
Tahun depan, Bank Indonesia memperkirakan ekonomi hanya tumbuh 4,37 persen. Namun, pemerintah lebih optimistis: 5,3 persen. Inflasi pun diperkirakan 3,3-3,6 persen, tingkat kemiskinan 7,5-7,8 persen, pengangguran terbuka 5,3-6 persen, ketimpangan (rasio gini) 0,375-0,378, dan Indeks Pembangunan Manusia 73,31-73,49.

Angka mana pun yang dirujuk sulit untuk kembali on track keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap) yang mensyaratkan pertumbuhan minimal 6 persen. Pemerintah mesti meneruskan pemulihan dan reformasi struktural untuk mendorong kinerja perekonomian dan mengantisipasi risiko ketidakpastian.

Selain itu, pemerintah juga mesti memprioritaskan perlindungan sosial bagi yang miskin karena paling terdampak dari perlambatan ekonomi ini.

Tetapi, saat ekonomi melambat, dinamika politik justru makin cepat karena pemilu dan pilkada serentak digelar pada 2024. Elektabilitas beberapa bakal calon Kepala Daerah bersaing ketat. (Menurut beberapa survei). Sayangnya, hingga kini wacana publik masih hanya berkutat soal nama, citra, dan pesona.
Hemat saya, pendekatan dangkal dan superfisial macam ini tidak hanya ”merendahkan” derajat debat dan kontestasi substansi para kandidat, tetapi juga bisa jadi bahan bakar sentimen tak sehat yang mampu mengubah barisan pendukung jadi penghujat.
Ini berbahaya. Mengapa? Pertama, diakui atau tidak, terjadi pembelahan di masyarakat akibat politik identitas dalam pilkada. Wajar jika penyelenggara dan peserta pemilu khawatir ini akan terulang di 2024, yang jika gagal dimitigasi bisa membawa disintegrasi.

Apakah ini nyata atau mengada-ada? Jawabnya ada pada 2023. Kelompok masyarakat miskin dan berpendidikan rendah mungkin jadi lapisan sosial yang paling gampang dibelah dan dibakar sentimen primordialnya. Apalagi, karena paling terdampak pelambatan ekonomi, mereka mudah dijadikan massa bayaran.

Tetapi, pembelahan ternyata juga terjadi di kalangan menengah-atas. Mengapa? Sebab, akses pada sumber daya ekonomi dan teknologi tak dibarengi literasi untuk menangkal kabar bohong dan penyebaran kebencian. Akibatnya, sentimen semu seolah ideologis tumbuh subur di kalangan yang seharusnya lebih terdidik.
Kedua, terjadi pengotak-ngotakan lain: antara yang ”pro” dan ”anti” pada pemerintah. Ini mengada-ada. Bagi yang ”pro’, pemerintah tak bisa dan tak pernah salah karena itu jangan dikritik. Itulah mengapa mereka yang tak sependapat, apalagi terbuka menyampaikan kritik, akan segera dicap ”anti”. Padahal, kritik adalah alat evaluasi, bukan alasan untuk dipersekusi. Absennya perlindungan hukum memperparah situasi dan ruang gerak sipil makin terasa dibatasi.

Ketiga, jika terus dibiarkan pada 2023 nanti, ini semua akan makin menggerus nalar dan menghempaskan harapan tentang Lampung yang lebih baik di masa depan. Kepercayaan bahwa pemerintah di masa transisi bisa melindungi dan memenuhi hak-hak warga akan sirna.
Padahal, pemerintah mestinya memastikan pergantian kepemimpinan berjalan demokratis, aman, dan damai serta menjamin kesinambungan kebijakan pembangunan. Untuk itu, kuncinya adalah menjaga nalar warga pada 2023.(Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content protected !!