Tintainformasi.com —
Oleh : DR. Wendy Melfa
“PUASA” (EFISIENSI) ITU MENYEHATKAN
Dinamika ritme kehidupan penduduk Indonesia yang mayoritas beragama muslim juga berimpak pada penduduk lainnya (menyesuaikan) dengan datangnya bulan Ramadhan atau bulan puasa. Disebut bulan puasa karena bagi penduduk beragama Islam, menunaikan ibadah puasa pada siang hari selama satu bulan penuh dengan segala syariat yang menyertainya.
Puasa dengan segala ganjaran (pahala), manfaat (kesehatan), hikmah (sosial), dan derajat ketakwaan (hakekat) adalah ibadah (syariat) bagi muslim yang sudah memasuki ketentuan syarat wajib untuk berpuasa sebagaimana disebutkan dalam QS Al Baqarah 183.
Bulan Puasa 1446 H bertepatan dengan memasuki tıga bulan pertama ditahun 2025, bersamaan dengan awal periode pemerintahan secara nasional maupun daerah, yang juga ditandai dengan terbitnya Instruksi Presiden (INPRES) RI Nomor: 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025.
Dalam implementasinya, INPRES ini mereviu sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing yang meliputi seluruh kelembagaan perangkat pusat dan daerah dalam rangka efisiensi atas anggaran belanja. Lebih operasional lagi, terjadi sejumlah “pemangkasan” anggaran dan pengalihan anggaran untuk belanja modal (program) yang “lebih” bermanfaat untuk rakyat.
Diksi Puasa adalah kata yang memiliki makna “menahan” (as-shaum, Arab), dalam konteks ibadah mengajarkan akan kesabaran, keikhlasan, dan pengendalian diri yang goal dari itu semua adalah derajat ketakwaan (la’allukum tattaqun). Konstruksi ber-Puasa bila dipahami dari korelasi antara ikhtiar yang dikerjakan berupa kesabaran, keikhlasan, dan pengendalian diri tersebut guna dan manfaatnya kembali kepada dirinya sendiri, bukan orang lain dari sisi agama (ketaatan), kesehatan, kepedulian sosial yang apabila ini terjaga maka dirinya akan menjadi pribadi yang tangguh.
Berpuasa mengajarkan pola hidup yang efisien, yang semula makan sebanyak tıga kali (pagi, siang, sore/malam) ditata hanya menjadi dua kali makan (sahur dan berbuka), secara sosial ikut merasakan “penderitaan” orang lain yang kekurangan makanan, sehingga bisa menumbuhkembangkan rasa kesetiakawanan sosial. Berpuasa juga bagian dari cara untuk menjaga dan merawat kesehatan fisik dan mental, dan masih banyak lagi manfaat dan hikmah dari mengerjakan ibadah puasa.
Manfaat puasa tersebut dapat diraih manakala mengerjakan puasa berpedoman pada tuntunan syariat agama, namun manakala mengerjakan puasa tersebut secara sembrono (tidak sesuai tuntunan) maka alıh-alıh manfaat yang bisa didapatkan, dikhawatirkan justru kontra produktif manfaatnya bagi tubuh (dirinya sendiri), seperti berlebihan makan pada saat berbuka puasa (over kalori dan carbohidrat), mengurangi aktivitas dengan memilih lebih banyak tidur dan masih banyak lagi lainnya yang tidak senafas dengan ikhtiar dan tujuan ibadah puasa itu sendiri.
SATU TARIKAN NAFAS
Melalui fenomena efisiensi yang didengungkan rezim pemerintahan saat ini, yang mengawalinya melalui INPRES 1/2025 sebagai landasan aturan men-design politik anggaran negara dalam tata kelola pemerintahannya, bukan saja tentang pemangkasan dan pengalihan sejumlah anggaran belanja barang menjadi belanja modal atau program pembangunan lainnya, tetapi secara lebih jauh ingin “membangun” tata budaya atau sosial yang mengatur interaksi pemerintah dengan masyarakat (baca juga artikel terdahulu berjudul “Revolusi Mental Birokrasi Indonesia”), yang muaranya tentu diharapkan “terbangun” budaya baru efisien, efektiv, berdaya, dan berhasil guna yang tumbuh dan berkembang pada kehidupan sehari-hari masyakatnya, baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya itu sendiri.
Konstruksi yang terbangun dari relasi antara pembelanjaan anggaran negara, budaya, dan efisiensi ini sepatutnya dikerjakan berbasis aturan dan konsistensi, juga diikuti dengan komitmen yang tinggi akan kesungguhan mewujudkan program efisiensi ini. Hal tersebut perlu digarisbawahi agar pelaksanaan program tersebut sungguh dapat terwujud. Tanpa itu semua, nampaknya perubahan budaya efisiensi akan mendapatkan dinamikanya tersendiri sebagai bentuk “kegagapan” menerima hadirnya budaya baru.
Ada kedekatan makna dan hikmah antara puasa (baca: menahan) dengan efisiensi, menjadikan keduanya sebagai satu tarikan nafas; sama-sama dikerjakan dengan kesabaran, keikhlasan, dan pengendalian, merujuk pada syariat/aturan sebagai basis pelaksanaannya, bermanfaat untuk kebaikan diri sendiri (masyakat), dan begitu juga sebaliknya, manakala keduanya dikerjakan bukan berbasis pada syariat/aturan, konsistensi sikap dan komitmen yang tinggi, maka kontra produktiflah hasilnya.
Ibadah Puasa yang dikerjakan dapat memupuk kepedulian sosial dengan ikut merasakan masyarakat lainnya yang sedang kekurangan bahan makanan untuk konsumsi kebutuhan hidupnya, maka dalam perspektif kenegaraan, politik anggaran efisiensi ini diharapkan sebagai sikap nasionalisme dalam upaya mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, adil bagi penyelenggara negara, adil bagi birokrasi sebagai aparatur pelayanan masyarakat, juga adil bisa dirasakan bagi rakyatnya. Marhaban Ya Ramadhan, barokallah. *Penulis: Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)